Chapter 6

865 198 41
                                    

Stefan akan memeluknya di kala apa pun, itu yang Yuki dengar dari mulutnya langsung. Tapi, Yuki mengigat-ingat kembali ada penghalang besar di antara keduanya. Sebagai jalan keliru, Stefan dengan sangat lancang menawarkan sesuatu. Malam ini, rembulan dan bintang tampak malu-malu. Yuki menimang Lovely di kamar sembari menyusuinya, di jam seperti ini sudah saatnya dia tidur. Rasanya sudah cukup lama hingga tangan Yuki sedikit kebas, dan juga ujung payudaranya yang terasa sakit. Menyadari Lovely yang sudah jatuh terlelap, Yuki melangkah menuju box bayi dan meletakkan putrinya di sana.  Lovely kadang sulit ditidurkan, ia bahkan kuat membuka mata hingga pukul sembilan dengan sekeranjang mainan di sekelilingnya.

Yuki tersenyum simpul, garis wajah Lovely benar-benar mirip Arsaka. Yuki sudah lumayan lama tidak datang ke makam mendiang suaminya karena tempatnya sangat jauh. Sangat disayangkan, pihak keluarganya memang menginginkan Asraka dikebumikan di tempat kelahiran laki-laki itu. Yuki kembali mendapati kesadaran diri, lalu berbalik untuk mengganti pakaiannya. Ibunya tadi mengatakan akan kedatangan tamu, Yuki tidak tahu itu siapa. Yang pasti Ibunya meminta agar Yuki berdandan secantik mungkin, dan juga mengenakan pakaian yang pantas. Ini seperti...

"Kak, tamunya udah datang."

Sana mengetuk pintu di luar sana, Yuki lantas segera berganti pakaian kemudian bergegas keluar. Ia baru akan melangkah menuruni tangga, tapi Sana terlebih dulu menahan pergelangan tangannya.

Yuki menatapnya bingung. "Ada apa San?"

"Kakak tadi siang ada di mana?"

"Ya di rumah dong." Bohong.

Sana tahu jelas kakaknya ke mana dan bertemu dengan siapa. Ini aneh sekali, membanyangkan sesuatu di antara kakak dan teman laki-lakinya. Sana tidak punya pikiran lebih selain bertanya langsung pada Yuki, tapi kebohongan yang keluar dari mulutnya tidak bisa Sana terima. Stefan? Apa dia juga akan mengatakan hal yang sama jika Sana bertanya tentang ini? Yuki sekarang lebih buram, tidak setransparan dahulu.

"Kak Yuki yakin?"

"Iya, lagian siapa yang bisa jagain Love kalau kakak keluar? Mama soalnya tadi lagi repot."

Sudahlah, percuma mengorek sesuatu yang temaram seperti ini. Sana memilih berlalu pergi, tanpa tahu jantung Yuki yang sebenarnya sejak tadi berdetak begitu cepat. Ia sangat takut, apa pun menyangkut Stefan selalu membuatnya gemetar. Yuki kemudian mencoba menormalkan degup jantungnya, berlalu menuju ruang tamu yang ada lantai bawah. Saat muncul di balik sekat berbahan kayu, Yuki cukup terkejut dengan kehadiran beberapa orang di sana. Ada dua orang paruh baya, dan satunya lagi merupakan laki-laki matang dengan wajah oriental.

Yuki semakin takut.

"Yuki, ayo duduk sini." Ibunya mengatakan dengan hati-hati. Yuki menurutinya dan langsung duduk, dia juga sempat tersenyum pada tiga orang di depannya. "Ini Tante dan Om Dirgantara, lalu yang muda itu Orion."

Seperti dugaannya.

"Yuki kelihatan cantik dan masih muda, siapa yang menyangka kalau dia ternyata sudah punya satu putri." Yuki tidak kenal mereka, entah itu si perempuan atau si laki-laki. Ayahnya yang duduk di sebelah Ibunya hanya tersenyum. Yuki menghela napas. "Rion, bagaimana menurutmu?"

Jangan sampai dia salah mengambil langkah.

Tapi apa yang Yuki hadapi? Ia terpaksa meremat pakaiannya sendiri ketika menyadari senyum yang ditunjukkan laki-laki bernama Rion itu. "Aku suka."

Rasa-rasanya sebentar lagi akan kiamat.

***

Selama seminggu belakangan, Yuki terus mengurung diri di kamar. Keluar seperlunya saja seperti ke dapur untuk membantu Ibunya mengurus katering, atau sekedar mengajak Lovely jalan-jalan. Sejujurnya, ia sama sekali tidak menyetujui keinginan Ayah dan Ibunya yang melakukan perjodohan tanpa mengatakan apa pun padanya terlebih dulu. Masalahnya ia bukan anak gadis perawan, ia janda satu anak yang tidak bisa dengan mudahnya menikah dengan laki-laki. Mereka mungkin mengatakan telah tahu dan menerima statusnya, tapi Yuki masih tidak bisa percaya jika mereka telah berumah tangga nanti. Lovely adalah buah hatinya, jadi menikahi Yuki sama juga seperti menikah dengan keluarganya sekaligus.

Mengenai Stefan, ia tidak tahu kabar remaja itu sekarang bagaimana. Beberapa hari belakangan Yuki memang sengaja menutup aksesnya untuk bisa bertemu atau menghubungi lewat sambungan telepon. Yuki tahu, Stefan pasti uring-uringan. Tapi dia tidak bisa melakukan apa pun karena saat ini sedang ujian akhir kenaikan kelas. Dia tidak bisa mengorbankan nilainya hanya demi ini, Yuki berani bertaruh. "Mamm."

Ah, suara Lovely kecil sekali.

Yuki menoleh dan langsung meraih tubuh Lovely. "Ada apa sayang?"

"Tututt."

Dia mulai banyak bicara dan sering mengeluarkan lenkingan tidak jelas. Yuki tetap melihatnya dengan senyum, tapi Lovely kembali mengatakan sesuatu lagi sembari menunjuk ke belakang punggung Yuki. Mungkinkah ada hantu? Tidak, tentu saja tidak. Ini masih cukup sore, langit masih cerah dan mentari belum tenggelam. Yuki meletakkan tubuh Lovely di atas karpet berbulu lembut, lalu menoleh ke belakang.

"Kita harus bicara."

Yuki ingin sekali mengumpat, sungguh.

Sebenarnya bagaimana cara orangtua Stefan mendidik anak sepertinya? Lancang sekali muncul di balkon orang lain, bukannya datang bertamu dengan sopan. Yuki tidak dapat menutupi kekesalannya hingga langsung berdiri meninggalkan Lovely seorang diri. "Kamu ngapain di sini Stef?!"

"Ketemu kamu."

"Iya, tapi kamu nggak bisa masuk lewat sini seenaknya. Hargai privasi aku!"

Dalam urusan semacam ini, Yuki seringkali sensitif. Stefan yang masih berseragam sekolah lengkap, tetapi dengan atasan jaket hitam langsung mendorongnya masuk. Wanita dewasa itu marah-marah, sayangnya Stefan masa bodoh dan malah membawa Yuki masuk ke kamar mandi. Sialan! Apa Yuki tidak menyadari seberapa tersiksanya dirinya beberapa hari ini?

"Aku nggak ngerti kenapa Sana tiba-tiba nggak ngebolehin aku main ke sini, kamu pun nggak bisa ku hubungi. Dan aku sama sekali nggak tahu di mana salahku?!"

Salahnya? Salahnya kenapa harus menyukai wanita seperti Yuki? Itu salahnya.

"Stef ada anakku di sini, kamu harus pergi."

"Nggak!"

Yuki hampir kehilangan kendali dengan berteriak ketika melihat Stefan menutup pintu kamar mandi, menguncinya rapat lalu memojokkan tubuhnya di dinding dilapisi ubin. Stefan? Dia ini seperti bukan anak sekolah biasa, pikiran dan tenaganya lebih liar dari pada yang ia duga. Tidak bisa begini, Yuki terlalu takut untuk sekedar berteriak hingga menyebabkan seisi rumah terkejut.

"Udah ku bilang berkali-kali, aku cinta sama kamu."

Berkat aliran air yang mengucur dari kran, Yuki tidak dapat mendengar degup jantungnya yang berpacu kencang. Ia sekarang sedang di masa sulit, karena ada laki-laki muda yang terbakar karenanya. Yuki melihat mata Stefan, ada emosi di sana yang menyebabkan separuh hatinya remuk. Ini gila, tapi Yuki tidak bisa mengelak gejolak itu. Aroma Stefan, mata Stefan, dan juga bibir lembut Stefan. Yuki memberanikan diri meraih tengkuk laki-laki itu pelan, tanpa tahu malu pada Lovely. Pikiran Yuki kabur. Jika dibandingkan harus menerima perjodohan yang ditawarkan orangtuanya, hati kecil Yuki lebih memilih Stefan.

"Stefan..."

Didorong afeksi, Stefan selalu tidak sabaran jika menyangkut Yuki. Maka sebelum wanita itu berubah pikiran dan memupuskan keinginan ini, Stefan langsung memenuhi mulutnya dengan ciuman menggairahkan, membawa Yuki melambung tinggi, lalu menghempaskan pikirannya yang terus bergejolak. Stefan memang selalu seperti ini, Yuki sudah lelah menolaknya, membiarkan seluruh isi mulutnya diobrak-abrik lidah Stefan hingga dada keduanya sama-sama menghangat. Yang terjadi, Yuki justru menikmati. Setiap apa yang dilakukan Stefan selalu berhasil menyulut bara api.

"Aku pengen lebih."





















To be continue...

Waduh, maunya yang lebih-lebih. 😂

26 Januari 2020

Last FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang