Chapter 9

1K 184 37
                                    

Yuki telah menjalani hari melelahkan akhir-akhir ini, hatinya remuk. Antara rasa dan segala ketentuan aspek hidup, ada saatnya ia merasa muak menjalani seluruhnya. Si bocah remaja itu tidak bisa dihentikan, dan Yuki pikir ini akan menjadi kiamatnya. Jika Arsaka masih hidup hingga sekarang, tidak akan ada drama seperti ini. Problema tiada ujung, Yuki gundah setiap waktu. Seharusnya, di tahap ini ia hanya fokus mengurusi Lovely. Tapi godaan dari Stefan ternyata mampu membuatnya goyah. Yuki tidak bisa menyebutnya keparat, karena ia sendiri pun juga sama. Sama-sama gila.

Konyol sekali.

Yuki si Ibu muda beranak satu yang jatuh cinta pada anak SMA, menggelikan. Arsaka mungkin sedang menertawakannya.

Dia, mendiang suaminya itu begitu mirip dengan Lovely. Setiap kali memandang wajah mungil putrinya, hati Yuki menghangat. Seperti saat ini pun, Yuki tidak bisa berhenti mengelus kening Lovely yang tengah tertidur di dalam boks bayi. Arsaka sudah cukup lama pergi, dan tidak pernah kembali.

Lalu kini, hanya tersisa kenangan.

Yuki menegakkan tubuh setelah benar-benar puas memandang Lovely, beringsut menuju ranjang. Begitu ia akan membaringkan tubuh, ponselnya yang ada di atas nakas menyala. Yuki lantas kembali menegakkan tubuh untuk mencari tahu, rupanya hanya berisi notifikasi panggilan masuk dan beberapa pesan. Kebanyakan dari Stefan, jadi Yuki tidak mau repot-repot membalas. Kalau laki-laki itu masih seperti ini, dia tidak akan pernah bisa berpikir lebih dewasa. Paling tidak, Stefan seharusnya bisa menahan diri.

Biarlah, Yuki enggan menerima telepon dari Stefan saat layar ponselnya menyala lagi. Terus berlangsung seperti itu berulang-ulang. Tenang Yuki, ini akan berhenti.

Sementara egonya yang lebih menguasai, Yuki terdiam melihat layar ponselnya. Sampai kemudian nama Stefan tidak muncul lagi, Yuki akhirnya bisa bernapas lega. Tapi ponselnya itu hanya diam dalam beberapa menit. Yuki tersenyum tipis, ponselnya kembali berbunyi dan itu berasal dari panggilan masuk teman SMA nya dulu. Tidak biasanya, Lyra jarang menghubunginya secara langsung. Yuki yang tidak mau berpikir panjang segera menekan tombol hijau, ia mendengarkan dengan seksama suara si penelepon di seberang sana.

"Yuki, ini kamu Yuki kan?" Aneh sekali.

Yuki mengerutkan dahi heran. "Ya, ada apa?"

"Serius, aku pikir kamu Yuki yang lain." Jika temannya ini tidak segera menjelaskan, Yuki akan semakin bingung. "Aku nggak tahu ada hubungan ala kamu sama keponakanku, dia sakit dan terus-terusan manggil nama kamu."

Siapa yang harus Yuki percaya?

"K-keponakan?"

"Stefan Ki, dia keponakanku."

Ya Tuhan, kepalanya sakit.

Sehari saja, Yuki ingin tidak mendengar nama laki-laki muda itu. "S-sakit apa?"

Percaya tidak percaya, tubuh Yuki gemetar. Maunya bersikap masa bodoh, tapi hatinya bertindak lain. "Stefan sakit demam. Pagi tadi sudah ku antar periksa ke Dokter, tapi nggak tahu kenapa demamnya nggak juga turun. Dia terus-terusan manggil kamu Ki."

Yuki harus bagaimana?

"Kalau boleh minta tolong, kamu bisa nggak ke sini? Ke rumah Stefan?"

"T-tapi, tapi aku nggak tahu rumahnya."

"Aku bisa minta sopirku buat ngejemput kamu." Masalah utamanya bukanlah itu. "Please Yuki, kamu harus ke sini."

Mana mungkin Yuki menemuinya.

Kesalahan Stefan, dia telah melakukan sesuatu yang membuat Yuki marah. Tetapi, otak Yuki terus dibayang-bayangi bocah itu sehingga mustahil untuk tetap tenang.

Last FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang