"Yoshi"
Aku menoleh menatap Jihoon yang tiba tiba memanggilku
"Ku fikir kau sudah berhenti" Ucapnya seraya duduk disebelahku
"Entahlah. Aku tak bisa meninggalkan semuanya begitu saja" Aku mengangkat bahuku acuh
Ku tatap hamparan laut luas di depanku.
Langit cerah yang sudah berubah jingga. Deburan ombak dan gemuruh air yang saling bersahutan seolah menjadi musik pengiring setiap senjaku.Bertahun-tahun hidup dengan keadaan seperti ini, tak membuatku mudah meninggalkan kebiasaanku yang satu ini.
"Aku terlalu nyaman dengan kebiasaan ini. Seperti kau yang terbiasa menatap deretan pakaian orang tuamu sebelum tidur" Ucapku
Ku lihat Jihoon tersenyum. "Kau benar. Sudah bertahun tahun dan aku tak bisa menghilangkan kebiasaan itu sama sekali" Sahutnya
"Kau mungkin menemukan cara mengobati rindumu dengan hal itu. Begitupun aku" Ucapku
Jihoon menoleh, menatapku ragu "Kau merindukannya?" Tanyanya tak percaya
Aku menatap Jihoon sekilas "Aku begitu bodoh yaa, disaat kedua adikku membencinya aku malah menantikan wanita itu" Ucapku
"Kau benar benar merindukannya?" Sekali lagi Jihoon bertanya
Bukan hal yang aneh sebenarnya ketika ada yang bertanya seperti itu. Sering kali aku mendapat pertanyaan yang sama dari tiap penghuni pondok. Dan aku selalu mengiyakan setiap pertanyaan tersebut. Mungkin mereka yang heran, semua orang jelas tau bagaimana aku yang ditinggalkan disini malah merindukan orang yang jelas jelas meninggalkanku disini. Terdengar gila dan bodoh.
"Kau jelas tau apa jawaban untuk pertanyaanku" Ucapku
Jihoon menghela nafas "Sebenarnya aku tak mengerti denganmu yosh, disaat kau di sia siakan bagaimana bisa kau masih merindukannya" Ucap Jihoon
Aku tersenyum. Sejujurnya aku ingin berteriak dan mengatakan semua itu bohong. Bohong bahwa aku merindukannya. Aku membohongi mereka untuk menguatkan diriku sendiri.
"Tapi apapun itu. Aku akam mendukungmu. Mungkin memang dia begitu berarti untukmu. Jangan pernah merasa sendiri, aku akan selalu ada disini untukmu" Jihoon menepuk pundakku.
Tertegun sejenak dengan perlakuan manisnya. Jihoon memang yang terbaik. Mengingat bagaimana aku berulah selama ini. Menyusahkannya dan membuatnya selalu khawatir dengan sikapku, membuatku merasa bersalah membohonginya selama ini.
Aku fikir ini saatnya.
"You Oke?" Jihoon menatapku saat aku hanya terdiam tanpa bersuara selama beberapa saat
Aku tersenyum menatap sosok dewasa disampingku "Percaya atau tidak sejujurnya aku begitu membencinya, sampai aku tidak tau harus bersikap seperti apa"
Jihoon menoleh
"Aku menunggunya bukan karna aku ingin kembali atau semata mata merindukan wanita itu" ucapku berusaha menahan perasaanku
"Aku hanya ingin mengambil apa yang menjadi hak kami dan juga keadilan. Aku ingin dia membayar apa yang telah dia lakukan kepada kami terutama pada orangtuaku" Lanjutku
Jihoon menatapku aneh. "Yosh ... "
"Wanita itu bukan ibu hoon. Dia bukan wanita yang melahirkan kami. Dia bukan siapa siapa yang tak seharusnya ada diantara keluarga kami"
Aku mengeluarkan selembar foto usang yang selalu ku bawa kemanapun. Potret indah seorang wanita cantik dengan dandanan sederhananya
"Ini ibuku. Wanita yang melahirkan kami. Salah satu korban kecelakaan lalu lintas paling tragis di tahun itu" Ucapku
"Darimana kau tau?" Tanya Jihoon
"Aku ada disana. Kami juga korban saat itu. Mashi amnesia dan asa mendapat trauma parah sehingga terpaksa ingatannya dihapus. Tapi siapa sangka dia juga melupakan sosok ibu yang memang tak pernah dia temui lagi saat terbangun dari komanya"
"Lalu kau?"
"Aku memang sempat amnesia, tapi ingatanku pulih lebih cepat. Aku mengingat semuanya bahkan sebelum aku berada disini. Tapi aku tak pernah ingat seperti apa wajah ibu. Saat aku sadar sudah tak ada hal yang berhubungan dengan ibu dirumah itu" Aku tertunduk sendu
"Lalu kedua adikmu?"
Aku menggelengkan kepalaku "Mereka tak tau apapun. Dan aku tak mungkin mengingatkan mereka. Aku takut mereka terluka jika dipaksa mengingat semuanya"
"Tolong jangan katakan pada siapapun tentang ini. Terutama pada asa dan mashi, Ku mohon" Mohonku pada Jihoon.
Dia mengangguk."Lalu darimana kau mendapatkan ini?" Tanya Jihoon menunjuk poto yang ku genggam
Aku berdiri ,berjalan mendekati bibir pantai yang tersapu ombak. Jihoon mengikuti langkahku.
"Kau tau. Disini , saat matahari benar benar akan tenggelam sepenuhnya, dia memeluk kami untuk pertama dan terakhir kalinya"
Aku menghela nafas sejenak "And she say, she will be back one time" Lirihku
"Dan aku percaya. Maka aku menunggunya. Bukan untuk kembali tapi Untuk mengungkap semua kebenarannya"
"Hari itu saat dia menjauh, aku menemukan poto ini. Terjatuh disini. Mungkin tanpa sadar dia menjatuhkannya. Karna hari itu dia membawa berkas yang entah itu apa. Tapi aku yakin itu berhubungan dengan ibuku dan menghilangnya ayah"
"Jika dia benar kembali, apa yang akan kau lakukan?" Tanya Jihoon
Aku menggelengkan kepalaku "Aku tak tau" Jawabku. Kemudian hening.
Aku menghadap Jihoon dengan mata yang sudah panas "Aku begitu membencinya hoon, sampai sampai rasanya aku ingin sekali membunuhnya" Aku terduduk begitu saja
Rasanya begitu menyakitkan saat mengingat bagaimana selama ini aku memendam semuanya sendiri. Menutup rapat rahasia keluargaku seorang diri. Bukan aku tak percaya mereka. Bukan. Aku hanya takut membebani mereka lebih jauh.
Dan kini entah bagaimana aku bisa dengan mudah menceritakannya begitu saja pada Jihoon. Rasanya semua perasaan yang selama ini ku pendam meluap begitu saja tanpa bisa ku tahan
"Aku ingin membunuhnya hoon. Melenyapkan dia yang sudah merampas semuanya dariku" isakku
Jihoon ikut duduk untuk memelukku "Dia mengambil semua yang aku miliki. Ibu, ayah bahkan kebahagiaan kedua adikku hoon. Dia menghancurkan semuanya" Aku menangis dipelukan Jihoon
"Aku ingin bertemu wanita itu .. Aku ingin membalas semuanya" tangisku semakin keras yang untungnya teredam suara ombak
"Tapi aku tak punya apapun, aku tak punya siapapun sekarang" Ucapku melemah
"Kau tak sendiri yosh. Kau punya aku. Punya Asa dan Mashi. Kau punya kami semua. Kami keluargamu sekarang. Kami yang akan ada untukmu disaat apapun" Bisik Jihoon
"Terima kasih" Aku sesegukan di pelukan Jihoon. Entahlah rasanya sudah tak peduli dengan pakaian kami yang sudah basah oleh air laut
"Hoon ada yang ... "
"Astaga Park Jihoon, Yoshinori apa apaan kalian ini" Suara teriakan Hyunsuk terdengar sampai mengalahkan suaranya bisingnya ombak.
"Apa yang kalian lakukan sampai basah seperti ini" Suara Hyunsuk terdengar semakin dekat
"Hyun ini ... " Jihoon bersuara
"Kau ... "
"Eh, kau kenapa yosh?"
Suara Hyunsuk tiba tiba melembut saat menatapkuAh aku sadar betapa kacaunya keadaanku.
Hyunsuk menatapku lekat "Kau menangis?" Tanyanya
"Apa yang terjadi" Tanyanya lagi
Aku tersenyum singkat.
"Tak ada apapun hyun, aku membersihkan diri dulu ya" Ucapku menghindari pertanyaan lebih dari Hyunsuk"Ah aku juga harus mandi lagi hyun. Kita bicara nanti" Ucp Jihoon yang kemudian menyusulku
"Terima kasih untuk hari ini Hoon" Bisikku pada Jihoon yang berjalan disampingku
"Lima belas menit. Aku tunggu kalian di meja makan" Teriak Hyunsuk yang sepertinya berlari menyusul kami ke pondok
KAMU SEDANG MEMBACA
Pondok Treasure
Fanfiction12 pemuda yang dipersatukan takdir dengan keadaan yang hampir serupa , akankah tuhan berbaik hati memberi bahagia bagi mereka ?