1. Mengingat Malam Pertama

7.2K 190 10
                                    

Menikah dengan orang yang kita cintai, tentunya akan menjadi kebahagiaan sampai akhir. Itu yang dikatakan semua orang. Namun, tidak dengan pernikahan dua sejoli dalam cerita ini. mereka memang saling cinta, tapi mendadak hancur hanya karena sebuah berita yang belum tentu kebenarannya.

Malam itu saat usai pernikahan ...

“Beruntung aku belum menjamah kamu!” suara lantang itu memekik gendang telinga Anin. Suaranya terdengar menusuk dan sangat nyaring. “Dasar wanita murahan!” hardiknya lagi penuh hinaan.

“Aku bukan wanita seperti itu, Mas!” sahut Anin membela diri. “Jangan percaya dengan foto itu. Itu hanya salah paham.”

Bagas mendecih. “Jangan sok polos kamu. Bilang aja padaku, sudah berapa banyak pria yang menidurimu?”

Degh! Dada Anin terasa sakit tatkala kalimat itu menyobek raga. Kalimat yang menurut Anin sangatlah keterlaluan.

“Tega sekali kamu berkata begitu!” sahut Anin. “Aku bukan wanita murahan, Mas.”

Bagas melengos. “Sudahlah, nggak usah mengelak. Bicara saja yang jujur, toh aku tidak akan menceraikan kamu.”

“Apa maksudmu?” Anin menatap serius.

“Aku akan menutupi kelakuan bejatmu. Aku masih membutuhkanmu di sini. Bukan sebagai istri yang akan aku sayang, melainkan sebagai senjataku untuk mendapatkan perusahaan ayahku.”

Bibir Anin lantas bergetar dengan mata berkaca-kaca. Di malam pertama setelah pernikahan, bukan kebahagiaan yang Anin dapatkan, akan tetapi sebuah hinaan dan cacian hanya karena sebuah foto syur. Sebuah foto yang memamerkan Anin sedang dipeluk mesra oleh seorang pria di sebuah kelab.

“Tega sekali kamu padaku,” kata Anin sambil menangis. “Aku bahkan tidak tahu kenapa aku ada di foto itu.”

“Jangan khawatir, tak akan ada orang yang tahu tentang kelakuan buruk kamu. Aku akan menyimpannya rapat-rapat.” Bagas menyeringai. “Yang harus kamu ingat, jangan menyentuhku, aku bahkan tak akan menjamahmu apalagi bersetubuh dengan kamu.”

Bagas berlalu keluar dari kamar meninggalkan Anin sendirian yang masih menangis.

Sebuah pernikahan yang indah di pagi tadi, kini harus sirna saat datang malam hari. Anin menangis sejadi-jadinya kala itu. Dibiarkan oleh sang suami di malam pertama, suatu hal yang tak akan bisa Anin lupakan.

Niatnya Anin tak ingin mengingat kejadian itu, karena memang Anin sudah terbiasa menjalani pernikahan tanpa ada kata sentuhan. Anin selalu disayang saat di depan keluarga mertua, tapi selalu dicaci saat tiada siapapun.

Satu tahun berlalu, nyatanya tak ada yang berubah. Wanita bernama Hanindiya Saputri atau sering dipanggil Anin, tetap harus pura-pura bahagia dengan pernikahannya, sementara di dalam hatinya sedang menyimpan tangis yang amat pedih rasanya.

Suami yang Anin cintai selama ini, sudah berubah. Pria itu bahkan sudah kehilangan selera untuk sekedar menyentuh sedikit bagian kulit mulus milik Anin. untuk bagian lainnya, Anin tidak akan berharap.

Satu tahun, harusnya sudah cukup untuk menjerat sosok Anin, karena Anin memang ingin bebas.

“Duduk sini, Anin,” perintah Sasmita—mama mertua. “Biar Bibi Niah dan yang lain yang membersihkan semuanya.”

Anin mengangguk kemudian ikut duduk. Namun, baru saja duduk Anin terpaksa harus berdiri lagi.

“Ambilkan aku jus dulu,” perintah Bagas. Tentunya dengan nada bicara yang Bagas buat sehalus mungkin.

Anin tersenyum lalu berdiri dan melangkah ke arah dapur.

“Kamu kan bisa minta ambilkan Bibi Niah. Tidak usah memerintah Anin terus,” kata mama.

Suami Kedua #TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang