II

81 15 24
                                    

Aku ....
Tidak berharap dia kembali.

Akan tetapi, aku berhak ...
Merindukannya dalam kenangan
Dan menyimpannya dalam ingatan.

***

"Kakek? Bukannya Kakek Mira meninggal tahun lalu?" gumam Farel batal memejamkan mata.

Ia keluar dari tenda guna meminimalisir pikirannya dari perkataan Mira. Entah dia salah dengar atau dia enggan mengakui kebohongan Mira. Farel menggeleng sembari mengerjapkan mata, ia melirik Rian yang sibuk di posko. Farel pun menghampirinya.

"Bang! Kalau ngantuk, biar aku gantikan."

"Serius?" Rian menaikkan salah satu keningnya.

"Iya, serius. Aku tidak bisa tidur, Bang." Farel melamun. "Mending aku yang piket," sambungnya tiba-tiba tersenyum.

"Tapi saya juga tidak mengantuk."

"Oh, begitu? Ya sudah, kutemani."

Langsung saja Farel mengambil posisi dekat dengan Rian. Hal tersebut membuat manusia dingin itu terkekeh. Suasana malam, ketika semua terlelap, Rian masih harus memastikan keamanan rombongannya. Suara jangkrik bunyi bergantian dari segala arah. Farel menengok arloji, sudah jam 2 malam.

"Oh, Farel?" tegur Elis begitu keluar dari tenda.

"Kenapa? Cemburu ya, aku berduaan sama Abangmu?"

"Haha, tidak. Justru senang, dia ada yang temani. Benar begitu, es batu?" Elis menapaki tangga posko.

"Tidak juga," balas Rian.

"Aku mau bikin teh, kalian mau kopi?" Elis mengotak atik peralatan makan yang ada.

"Boleh," sahut Farel.

"Bang? Mau tidak?" Elis tengah memanaskan air.

"Terserah kau saja."

Respon Rian membuat Farel dan Elis saling memandang kemudian melontarkan senyum memaklumi sikap pria itu. Diantara yang lain, Rian hanya banyak merespon pada Farel. Mungkin karena Farel yang menemaninya sejak awal membangun komunitas.

"Bang, kenapa kamu selalu pilih bukit ini buat perkemahan?" tanya Farel, Elis diam menyimak sembari menyiapkan minuman.

"Karena bukit ini mengingatkanku pada Gisya."

"Oh, maaf Bang. Tidak bermaksud."

"Tidak apa."

Farel langsung diam, ia melirik Elis. Gadis itu melontarkan mimik wajah seolah bertanya siapa nama orang yang baru saja disebut oleh Rian. Farel menggeleng samar-samar, ia tidak mau mengungkapkannya sekarang. Elis menaikkan pundaknya, persetan dengan ucapan Rian, menghangatkan tubuhnya dengan teh saat ini adalah hal yang utama.

"Farel, itu kopi kalian, ambil sendiri." Elis berlalu membawa teh buatannya dalam wadah plastik berwarna hijau.

"Oke, makasih!" sorak Farel menyaksikan gadis itu berjalan menuju tendanya.

***

"Kenapa celana ini rasanya tidak populer? Tali ini membuatku tidak percaya diri. Dan ... Baju ini, longgar sekali."

Raka menggerutu, saat ini dia memang tidak telanjang lagi. Namun, kain yang Mira berikan sebagai penutup tubuh malah terkesan aneh baginya. Ia memperhatikan langit-langit kamar yang ia tempati. Beberapa bagian dipenuhi sarang laba-laba.

"Raka, sudah belum?" suara Mira dari luar membuatnya merasa jenuh.

"Sudah." Raka membuka pintu.

The SerpentesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang