VII

39 10 12
                                    

Hutan serpent bila ditelusuri lebih dalam akan nampak keindahannya. Bunga-bunga langkah yang begitu indah, tanaman menjalar begitu anggun. Bahkan kunang-kunang beterbangan lebih berkilau dari lampu kelap-kelip yang tercipta di jaman modern ini. Suasananya juga tenang, sebab tidak yang menghuninya hanya kaum serpent,  dan serangga, serta ikan yang ada di sungai ataupun rawa. Hutan ini, menakjubkan.

Akan tetapi, hutan serpent menyeramkan. Gelapnya membuat pengelihatan tidak jelas. Begitu sunyi, begitu sepi. Kalaupun ada penghuninya, mereka tidak saling bercengkrama dengan baik. Apa yang Mira, Raka dan Yuni lakukan merupakan hal yang langkah.

Serpent, kaum yang ditakdirkan untuk tidak menjalin hubunagn satu sama lain. Entah itu hubungan pertemanan ataupun yang lainnya. Meskipun beberapa di antara mereka ada yang ingin bergaul. Namun, tetap saja sifat angkuh dan kompeten ada dalam diri masing-masing.

"Kita hampir sampai," ucap Yuni membelah semak yang ada di depannya.

"Itu dia, rawa merah."

Raka mengangkat kepalanya guna melihat pemandangannya dengan jelas. Mira terpaku melihat sebuah rawa besar berwarna merah. Didampingi pohon beringin besar, dihiasi bunga teratai dan kunang-kunang yang seperti bersarang di situ. Pada akar pohon tersebut, tanpak seorang serpent berambut tak rapi duduk di situ. Sebagian ekornya yang berwarna coklat dicelupkan ke dalam rawa.

"KJ!" teriak Yuni mencegah serpent jantan itu hendak memainkan seruling.

"Wah! Kembar!"

"Jangan panggil aku dengan sebutan itu! Aku tidak kembar dengan serpent sok cantik itu."

"Tapi, motif ekor kalian sama. Berdasarkan sejarah serpent, motif ekor kalian menandakan kalian jenis ular derik."

"Pokoknya aku bukan kembaran serpent berambut putih itu!"

"Ya, ya. Terserah!" sorak Raka mucul.

"Oh, halo bung! Kamu yang melempariku dengan batu waktu itu, kan?" KJ tersenyum.

"Astaga, aku sudah lupa itu." Raka memutar bola matanya.

"Kamu memang serpent biadab, ya?" hardik Yuni.

"Eh, permisi." Mira mencoba mendekat.

"Oh, halo! Sepertinya kita baru bertemu. Perkenalkan, aku Kelana Jiwa. Aku senang berkelana dengan jiwaku yang damai sebagai seorang serpent. Maka dari itu, aku memilih Kelana Jiwa sebagai namaku."

Mira tersenyum, "Aku Mira."

"Wah! kamu punya nama, ya?"

"Aku juga punya," sahut Yuni tersenyum.

"Aku juga." Raka ikut menyahut.

"Benarkah? Kupikir kamu akan memiliki nama kalau sudah menjadi manusia."

"Ya, karena aku sudah menjadi setengah manusia, maka nama Raka aku pakai untuk sementara. Kalau sudah menjadi manusia seutuhnya, aku akan memakai nama yang kupilih sendiri." Raka menyilang kedua tangannya.

"Apa? Kamu ... setengah manusia?"

"Ya! Mereka berdua setengah manusia, aku sudah lihat kakinya tadi. Keren!" decak Yuni.

"Ke--kenapa? Bagaimana bisa?"

"Aduh! Aku capek bicara ulang-ulang. Mira, jelaskan." Raka menghempaskan dirinya pada tanah.

"Jadi, begini ... Aku adalah manusia. Raka mau memindahkan kutukannya, tapi entah apa yang terjadi. Kutukannya terbagi dua pada kami."

"Ya! Ketika di darat, mereka menjadi manusia. Begitu menyelam ke dalam sungai untuk masuk ke wilayah kita, kaki mereka berubah menjadi ekor ular." Yuni menambahi.

The SerpentesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang