"Tu-tunggu!" cegah Yuni menghentikan ketiganya.
Saat ini, mereka sudah berada di depan mulut goa.
"Apa, sih?" delik Raka kesal.
"A-aku hanya, agak takut."
"Dasar penakut!" ledek Gisya.
"Hei, jangan mulai!" tunjuk Yuni.
Mira mengendus mulai kelelahan, "Ayo, kita lihat ke dalam. Tidak usah takut, selama kita tidak berjauhan, kita tidak akan berpisah."
Yuni mengangguk, mereka pun memasuki goa terlarang. Goa itu berukuran besar menjulang, tetapi luasnya pendek. Bisa dikatakan hanya seperti terowongan. Keadaannya pun gelap gulita, hanya mata dan sisik mereka yang jadi penerang, kecuali Mira.
"Kenapa, mataku tidak bercahaya?" tanya Mira.
"Kamu tidak memakai insting," ujar Raka membuatnya mengernyit.
"Magia terdiri atas energi, sihir dan insting. Sihir dan insting tidak bisa kita gunakan kalau energi tidak memadai," tambahnya.
"Apa kau merasa lemas?" tanya Yuni dijawab sebuah gelengan oleh Mira.
Gisya memutar bole matanya dengan malas, lantas berkata, "Kalian ular jelata, eh. Maksudku, kalian berdua, kenapa berpikir jauh? Bukankah dia setengah manusia? Wajar saja kalau magia dia tidak penuh."
"Oh, iya ya?" decak keduanya.
Mereka lantas berada pada dinding buntu, "Ternyata goa ini ternyata tidak panjang, ya? Dari luar saja terlihat besar." Yuni berkomentar.
"Apa ini?" gumam Gisya pada dinding buntu yang seolah mengukirkan sebuah gambar.
"Aku tidak mengerti, sebenarnya bagaimana? Gambarnya seperti teracak." Raka ikut melihat.
Mira yang tidak bisa melihatnya pun menjadi gelisah. Untung saja dia memiliki ide, "Teman-teman! Boleh aku atur posisi kalian?" tanyanya tersenyum.
Ia pun menginterupsi ketiganya agar berdiri sejajar, di tambah ekor yang diangkat sehingga semua yang ada pada dinding buntu itu terlihat jelas oleh Mira.
"Hahaha, ini yang disebut lighting!" seru Mira bahagia.
"Apa kami harus terus begini?" tanya Yuni merasa pegal dengan posisinya.
Gisya pun tak kalah mengeluh, "Seumur hidup menjadi serpent, baru kali ini aku diperintah."
"Diam, kalian. Biarkan dia baca," tukas Raka.
Mira tertegun melihatnya, "Teman-teman, sepertinya dulu hutan ini adalah sebuah kerajaan."
***
"Abang! Nomor Mira kok enggak aktif?" ujar Key yang tergesa-gesa memasuki ruang kerja tim Farel.
"Enggak, tahu." Singkat pemuda yang tampak kusam itu menjawab tanpa melirik ke arah adiknya.
"Loh, gimana sih?" cetus Key berdecak pinggang, "Kalian lagi berantem, ya?" tambahnya.
"Tidak."
"Terus?"
Farel menghela napas, netranya beralih pandang dari laptop ke mata Key. Membuat adiknya sontak berkedip salah tingkah. Ada rasa takut, tapi penasaran yang dirasakan Key.
"Ayo makan siang bersama," ajar Farel justru membuat Key tidak mengerti isi kepala kakaknya itu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Serpentes
FantasyIni tentang manusia yang berusaha melepaskan diri dari kutukan kaum Serpent. Mereka hendak mencari tahu siapa yang menciptakan kutukan tersebut. Jika mereka membiarkan kutukan itu tanpa memindahkannya ke orang lain, maka imbasnya adalah mereka menj...