XI

31 11 0
                                    

Farel tiba di gedung penerbit. Sembari menapaki tangga menuju lantai 2, ia mengingat-ingat beberapa design yang belum ia selesaikan. Begitu kakinya sampai pada anak tangga terakhir, ia mendapati Elis dan Rian tengah berdiri berhadapan di depan pintu ruangan.

"Kau sangat tidak sopan," tandas Rian dengan tatapan dinginnya yang menelusuk.

"Aku tahu, tapi cobalah mengerti, seandainya kamu di posisiku, kamu juga pasti akan penasaran dengan suara nyanyian disaat kamu sendirian, bukan?" timpal Elis.

"Tidak, aku tidak serepot itu."

Kedua kening gadis berambut merah kecoklatan itu mengerut.

Rian mengendus kesal, "Kenapa kau sangat terobsesi denganku?"

"A-apa?"

"Kenapa kau sangat terobsesi denganku?" ulang Rian.

"Aku ... Tidak mengerti, kamu bicara apa?"

"Mulai sekarang, berhenti bicara yang tidak penting denganku. Kalau perlu, pergilah sejauh mungkin. Aku merasa muak melihatmu," tegas Rian berlalu.

"Hei!" panggil Elis tak dihiraukannya.

Usai Rian masuk dalam ruangan, gadis itu bersandar pada tembok, kemudian berisak. Ia merasa ada seseorang sebelah kanannya dan tampak jelas setelah ia melirik, sosok Farel diam berdiri menyaksikan perbincangan mereka tadi.

"Ha-hai, Farel. Pagi," ujar Elis menyeka air matanya. "Apa ka--"

Tiba-tiba saja lelaki itu mendekati Elis, kemudian menakup kedua pipinya dengan hangat. Hal itu membuatnya mengerjapkan mata, merasa gugup dengan pandangan hangat Farel.

"El, kamu tidak harus sekuat baja, kamu tidak harus setegar karang, jangan menahan bendungan air di pelupuk matamu. Menangis saja, aku ada."

"Hiks! Farel ...," ringis Elis melingkari kedua tangannya pada perut lelaki itu.

"Tenang, El ...."

Farel turut merangkulnya, memberi usapan pada rambut merah tua gadis itu yang selalu terurai indah.

***

"Kayaknya di lantai dua, deh. Hmm, tapi aku tidak tahu di mana ruangannya."

"Kita sebenarnya mau ke mana?" tanya Raka mengikuti Mira menapaki tangga.

"Menemui Farel, ini tempat kerjanya. Aku harus minta maaf atas sikapku semalam. Karena panik, aku jadi membentaknya."

"Aku selalu dibentak, tapi tidak pernah diberikan kue," nyinyir Raka melirik kotak kue yang ditenteng Mira.

"Hahaha, kamu pikirannya makanan terus. Ya beda dong, kamu kan temanku, sementara Farel, dia ...."

Perkataan Mira terhenti begitu saja tatkala melihat kekasihnya memeluk wanita yang paling tidak disukainya. Terdengar pembicaraan mereka dari jarak 6 meter.

"Padahal aku tidak sengaja," ucap Elis menyandarkan dahinya pada dada bidang Farel.

"Iya, aku tahu. Dia yang tidak mengerti maksudmu. Sudah, ya. Biar aku yang bicara nanti," tutur Farel dengan lembut.

Bugh ... Kotak kue yang ada dalam genggaman Mira jatuh. Menimbulkan suara yang berhasil membuat kedua insan yang tengah saling merangkul itu menoleh. Raka yang masih berposisi pada tangga, enggan berdiri sejajar dengan Mira. Entah kenapa ia malas menapaki dua anak tangga yang seharusnya menjadi tapakan terakhirnya.

"Mira?" decak Farel melepas Elis.

Tanpa respon, gadis dengan kedua mata yang berkaca-kaca itu segera berlalu menuruni anak tangga dengan cepat. Saking cepatnya, Raka sampai dibuat terkejut karenanya. Untung saja ia tetap tegar pada posisinya.

The SerpentesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang