XIII

45 10 4
                                    

"Gisya ...."

Serpent bermata biru itu tertegun melihat ukiran tinta hitam yang permanen melekat di kulit lengan putihnya. Ia ragu pada perkataan Mira, tetapi juga tidak bisa menepis rasa penasaran akan tato tersebut.

"Hei centil," panggil Yuni padanya yang tampak melamuni lengan.

"Kita semua kehilangan ingatan, kita adalah manusia yang terikat dengan kutukan serpent. Kita bisa saja tidak ingat, tapi beberapa tanda dan kebiasaan kita adalah jejak jati diri kita yang dulu. Kita hanya perlu keluar dari sini, melepas kutukan dan kembali menemukan jati diri kita."

Ucapan Yuni seolah mewakili semuanya, kecuali Mira yang masih mengingat segalanya.

"Yuni benar, maukah kau dipanggil dengan sebutan Gisya? Atau setidaknya untuk sementara ini, kami panggil dengan sebutan itu," bujuk Mira.

Serpent itu mengerutkan kening, "Untuk apa memanggilku Gisya?"

Mira tersenyum, "Kami mau mengajakmu mencari keberadaan antestrega, untuk melepas kutukan."

Ia lalu melirik satu per satu, tampak Raka menyilang kedua tangannya dan menatapnya dingin, juga Yuni yang berdecak pinggang menunjukkan wajah datar akinat berusaha meredam amarah. Ia lalu melirik lagi lengannya.

"Apa yang harus aku lakukan?" tanyanya pada Mira.

"Beri tahu kami tempar pertapa ular berada," sahut Raka.

"Pertapa ular?" iya kebingungan.

"KJ bilang kamu tinggal dekat dengan dia," ungkap Yuni seraya menunjuk posisi berdiri Serpent berseruling itu yang kini kosong.

"Eh, di mana dia?" Mira tampak terkejut.

"Sudah kubilang, kan? Dia takut padamu nenek," ledek Raka pada Gisya.

"Aku bukan nenek-nenek!"

"Rambutmu putih, di luar sana perempuan tua rambutnya putih, dipanggil nenek."

"Apa?" serunya hendak menyerang, tetapi akar yang melilitnya berhasil menahan.

"Maaf Gisya, itu karena Raka banyak belajar di alam manusia. Maaf ya," ucap Mira sedikit terkekeh.

"Hei, kalian. Di mana KJ?" sahut Yuni tampak kesal.

Gisya menghela napas, "Dia bukan takut padaku, dia hanya takut kebohongannya terbongkar."

"Maksudnya?" decak ketiganya bersamaan.

"Dia selalu berbohong pada Serpent yang datang padanya, menceritakan sejarah kutukan serpent dan antestrega. Apabila serpent-serpent itu tidak percaya, ia memerintahkannya datang ke daerah ini untuk menemui pertapa ular yang sebenarnya tidak ada."

"A-apa?" ujar Mira tak menyangka.

"Dia bilang di sini ada goa dan banyak serpent yang berhasil menemukannya," seloroh Yuni.

"Memang ada, tapi tidak pernah ada yang berani masuk ke dalam. Itu adalah gua terlarang. Selama aku berlingkup di sini, hanya KJ yang pernah masuk ke dalam gua itu dan dia mengetahui aku melihatnya keluar dari gua tersebut. Sejak saat itu, dia menyuruh para serpent untuk datang ke sini. Tujuannya bukan untuk memberi mereka petunjuk, tapi untuk membunuhku yang sudah menyaksikannya memasuki goa terlarang."

"Jadi maksudmu, dia takut dikatakan penipu karena telah membuat cerita palsu?" tanya Raka sembari menyimpulkan.

"Ya."

"Lalu kenapa dia tidak langsung membunuhmu dengan tangannya sendiri?" sahut Yuni.

"Karena dia tidak punya kekuatan, dia hanya bisa bermain seruling."

"Jadi ... Dia ...?" ujar Mira.

"Ya, dia tidak menceritakan sejarah serpent secara benar. Dari keseluruhan ceritanya, yang benar hanyalah Antestrega, sang pembuat kutukan."

Mira menghela napas, iya melenturkan tubuhnya ke tanah. Rasanya sangat lelah mengatasi kutukan yang menjadi bebannya. Ia menengadah, bahkan langitpun tak nampak dalam hutan ini. Pohon raksasa begitu menjulang tinggi.

"Kau kenapa, belut?" tegur Raka yang entah sejak kapan ia mulai memperhatikan gadis itu.

"Aku ...," ucap Mira terhenti disertai tetesan air mata di kedua pipinya.

Gisya dan Yuni tertegun, baru kali ini mereka berdua melihat yang namanya air mata.

"Dia sedang apa?" bisik Gisya pada Yuni.

Mereka berusaha untuk lebih dekat, "Rumornya, jika ada air keluar dari mata, itu pertanda seseorang sedang menangis." Yuni balik berbisik.

Gisya membulatkan bibirnya, "Oh ... Baru kali ini aku melihat serpent menangis," bisiknya lagi.

"Itu karena dia setengah manusia, dia punya hati, jadi dia bisa menangis," jawab Yuni berbisik.

"Bagaimana bisa?" Gisya bertanya lagi.

Bisik-bisik mereka pun berlanjut dengan Yuni yang menceritakan kisah Mira dan Raka. Sungguh sebuah keajaiban mereka berdua bisa berdiskusi seperti itu.

"Hei, kenapa?" tanya Raka mendekati ikut bersimpuh.

Mira tersenyum, ia lalu menyeka air matanya. Lalu berkata, "Aku tidak mau menyerah, aku masih ingin bertemu dengan antestrega."

Raka tersenyum angkuh, dia merasa lega melihat gadis itu kembali bersemangat. Ia ikut menyeka sisa air di ujung kelopak mata Mira, "Jangan terlalu mengangis, aku lelah melihatmu mengeluarkan air mata."

"Aku akan menangis lagi, kalau kamu tidak mau mencari Antestrega."

"Aku mau."

Mira tersenyum, ia lalu menyadari kedua serpent berekor kembar itu tengah berbisik sembari tertawa kecil. Raka ikut menoleh, ia terkekeh melihat keduanya.

"Kau berhasil membuat mereka berdamai."

Raka pun melepas ikatan pada keduanya, lantas mereka menoleh kemudian mendekat pada Raka dan Mira.

"Apa kau baik-baik saja?" tanya Yuni.

Mira tersenyum.

"Bagaimana rasanya menangis?" tanyanya lagi.

"Bodoh! Tidak mungkin rasanya seperti makanan!" hardik Raka.

Yuni memanyunkan bibirnya, tidak suka pada Raka yang menurutnya sangat temprament. Sementara Gisya menggaruk tengkuknya, ia belum sepenuhnya memahami istilah-istilah manusia.

"Teman-teman, ayo kita cari Antestrega!" sorak Mira bersemangat, sekalipun tidak mendapatkan respon di sekitarnya.

Mira lalu terdiam, "Ta-tapi ... Ba-bagaimana?" ia menoleh pada Raka.

"Goa."

Bersambung

The SerpentesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang