"Tuhan ... Aku tidak menolak takdirmu, sekalipun hal buruk menimpaku. Aku hanya tidak bisa menjalaninya, apabila Engkau tidak membersamaiku."
***
"Wah!"
Pandangan Raka menyapu luas memandangi gedung-gedung tinggi serta keramaian kota Jakarta. Sopir yang duduk di sebelahnya melirik sekejap, merasa bahwa penumpangnya orang kampungan. Persetan dengan Raka, mengikuti motor Farel jauh lebih penting baginya, agar tidak ketinggalan jejak.
"Hah? Apa itu?" tanya Raka pada sopir sembari menunjuk bangunan yang menjadi ikon kota Jakarta.
"Itu MONAS, Mas."
Dugaan sopir itu benar, orang ini berasal dari desa terpencil, pastinya. Raka sendiri fokus melihat puncak Monumen Nasional tersebut yang berbentuk seperti api. Itu sama seperti inti hati yang berpendar merah, baik itu pada Mira maupun Farel. Pandangan Raka lalu teralihkan begitu mobil berhenti bersama dengan kendaraan lain.
"Ah, macet." Sang sopir mengeluh.
Warna merah tampak berpencar dari dada kirinya, yang hanya bisa dilihat oleh Raka. Ia menyeka keringat, sembari mengetuk stirnya beberapa kali. Tampak ia memandangi Farel dan Mira yang hampir tertutupi oleh beberapa kendaraan beroda dua di depannya. Sementara Raka terus memandangi dada sopir itu. Merasa diperhatikan, sang sopir pun bertanya.
"Eh, ada apa ya Mas?" tanyanya sedikit merinding.
"Kamu marah?" tanya balik Raka.
"Enggak, Mas." Sang sopir menggeleng.
"Tapi ... Aku rasa kamu marah."
"Omong-omong, mata saya di sini, Mas." Sopir itu menunjuk arah matanya.
Raka lalu menatapnya lurus, hal itu membuat sopir terkejut. Untung saja seru klakson seluruh kendaraan mengalihkan pandangan mereka. Sang sopir kembali menjalankan mobil, sementara Raka tak lagi melihat pendaran merah tadi.
"Padahal sedikit lagi," gumam Raka.
"Apanya, Mas?" tanya Sopir tak sengaja mendengarnya.
"Enggak, fokus ke depan!" kelajar Raka tiba-tiba menyebalkan.
"I--iya Mas, Maaf."
***
"Sayang," panggil Farel melirik Mira dari spion.
"Iya?" sahutnya.
"Ciee habis ketiduran."
"Ish! Aku kira apa. Ya tidur, lah ... Kan capek. Sayang kok kuat bawa motornya?"
"Hehe, karena ada kamu."
"Hmmm, serius!"
"Iya, serius. Aku sayang kamu."
Mira berdecak kesal, terhadap Farel yang leluasa menggodanya. Meski begitu, ia menyukainya dan tersipu. Mira lalu manoleh ke belakang, tampak taxi yang Raka tumpangi bersama barang-barang mereka. Mira membuka kaca helm guna memperjelas pengelihatan. Ia terkekeh melihat Raka menyaksikan suasana kota. Ia lalu menghela napas, kembali menatap pundak Farel, kemudian menengadah memandangi langit.
'Oh, Tuhan. Bantu aku menyelesaikan perkara ini. Aku tidak menolak takdirmu, sekalipun hal buruk menimpaku. Aku hanya tidak bisa menjalaninya, apabila Engkau tidak membersamaiku. Bantu aku, Tuhan.' Mira membatin.
***
Elis melirik Rian yang meja kerjanya berada tidak jauh darinya. Mereka berdua merupakan bagian dari salah satu tim staff penerbit. Elis bekerja sebagai layouter naskah, sementara Rian adalah editornya. Tim mereka terdiri dari 5 orang, 2 orang bertugas dalam pengajuan naskah dan Farel sebagai designer cover buku. Namun, Farel bekerja hanya 2 hari. Selebihnya, ia bekerja di perusahaan milik keluarga Bramasta sebagai tim marketing.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Serpentes
FantasyIni tentang manusia yang berusaha melepaskan diri dari kutukan kaum Serpent. Mereka hendak mencari tahu siapa yang menciptakan kutukan tersebut. Jika mereka membiarkan kutukan itu tanpa memindahkannya ke orang lain, maka imbasnya adalah mereka menj...