V

56 9 0
                                    

"Bisa jelaskan kembali tentang kutukan ini?" tanya Mira yang tengah melepas tas dan aksesoris di lengannya.

"Kutukan ini adalah siklus pertukaran manusia menjadi serpent dan serpent menjadi manusia. Ketika seorang manusia dirundung amarah yang menggelora, emosinya tidak terkendali. Maka, itu akan menjadi kesempatan bagi kaum serpent untuk menghipnotisnya dengan mantra."

"Tunggu, mantra? Kamu bilang kutukannya lewat ciuman."

"Ya, memang lewat ciuman, tapi tidak asal mencipok, Bambang!" seloroh Raka.

"Heh?"

"Bayangkan saja, kalau tiba-tiba manusia setengah ular menghampirimu. Apa yang akan kamu lakukan?"

"Aku pasti kaget, dong. Teriak, histeris! Aku akan memukulnya."

"Nah! Tepat sekali. Kaum serpent juga punya resiko dibunuh langsung oleh manusia. Meski hal itu baru terjadi satu kali dalam sejarah, kaum serpent tidak lagi berani asal menghampiri. Maka dari itu, manusia harus dihipnotis terlebih dahulu."

"Mantra seperti apa yang diucapkan para kaum serpent?"

"Mantranya bernada, tidak diucap seperti berbicara biasa."

"Maksudmu nyanyian?"

"Bisa dibilang begitu."

"Lalu, bagaimana cara mengetahui seseorang telah terhipnotis dengan mantra itu?"

"Para serpent beberapa memiliki kelebihan, salah satunya dengan mendeteksi hati manusia. Apabila ia berpendar merah, maka para serpent memiliki kesempatan untuk memghipnotisnya dengan mantra. Setelah itu, tinggal menunggu mata manusia ikut berpendar berwarna senada dengan jantungnya."

"Kaum serpent baru bisa mendekat dan mencium manusia jika matanya ikut berpendar karena mantra?" tebak Mira.

"Ya."

Mira lalu memandangi sungai yang ada di depannya. Alirannya tidak terlalu deras, tetapi mengeluarkan suara yang cukup keras. Mungkin itu karena suasana tenang kawasan hutan kecil belakang kebun salak milik Mang Deden, tetangga Mira.

Gadis itu menghela napas, "Kenapa harus ada sungai?"

"Karena hutan yang ada di seberang sungai adalah kawasan hutan serpent. Sungai adalah batasan antara wilayah manusia dan kawasan hutan serpent."

"Bagaimana kalau hutan jati yang ada di depan kita bukan wilayah serpent? Bagaimana kalau di sana ada manusia yang melihat kita berekor ular?"

"Haha!" Raka tertawa renyah, "Aturannya memang begitu, wilayah serpent di tandai dengan kilauan merah, hutannya juga tidak pernah berubah. Makanya kehidupan kaum serpent itu abadi. Kalaupun ada manusia yang bodoh memasuki wilayah itu, dipastikan terjadi dua hal padanya. Entah itu menjadi serpent, atau dibunuh oleh kaum serpent."

"Ah, begitu ...."

"Iya, belut. Ayo cepat!" Raka melompat ke dalam sungai.

"Hei, tunggu!"

Mira segera menyusul keparat itu. Mereka lalu berenang, tidak langsung menyeberang. Mereka melawan arus sungai, mencari tempat berlabuh yanh tepat. Sebab, jika mereka langsung ke seberang sungai, bisa saja Mang Deden atau orang lain melihat mereka dalam wujud ular.

"Raka," panggil Mira yang berenang di sebelah kirinya, agak ke belakang.

"Ya?"

"Kamu bilang, kehidupan kaum serpent itu abadi."

"Ya, begitulah."

"Kalau begitu, kenapa masih mengincar manusia? Toh, kalian sudah memiliki kehidupan baru."

The SerpentesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang