Part 14: Her Big Bro is Here

539 41 2
                                    

Karma termenung sendirian di pojok ruang latihan. Tangan kanan pemuda itu mencengkeram erat ponsel miliknya. Layar yang tadinya menampakkan panggilan berakhir terlihat gelap gulita.

Kepala Karma mendongak ke atas. Di bibirnya terlukis senyum miring yang aneh. Pemuda bersurai merah itu tertawa lirih, Detik berikutnya tawa lirihnya perlahan berubah menjadi tawa terbahak yang terdengar di seluruh ruang bernuansa kelabu itu.

"Ahahahaha... Tidak ada yang bisa kulakukan!"

"Aku harusnya tau kalau mendengarkan omelan si gadis vampir itu tidak ada gunanya!"

Karma melemparkan ponselnya sembarangan dan menyahut pedang bermata bilah dua di ujung ruangan.

Pemuda itu menyerang orang-orangan yang biasa dipakai latihan. Dia seperti banteng yang mengamuk. Menyerang semua yang ada di depannya sambil meraung marah.

"Gadis sialann! Jadi ini alasanmu melarangku kembali ke Jepang?! Hanya karena agar aku tidak berhadapan dengan vampir pemberontak bernama Klein itu?!"

"Tapi apa kau tau apa yang terjadi selanjutnya? Kedua orang tua Nagisa kehilangan nyawanya!!"

"Apa yang harus kukatakan padanya saat dia tau bahwa aku juga seorang vampir?!"

Suara karma melirih. Tubuhnya merosot setelah meraung panjang.

"Apa yang harus kukatakan pada Nagisa dan teman-temanku yang lain saat mereka tau kalau aku juga seorang vampir?"

Di tengah keputusasaannya, dia tidak menyadari sesosok lelaki berambut kelewat pirang sedang memperhatikan nya. Mata lelaki itu sudah tertuju pada Karma sejak dia mulai meraung dan menebas apapun yang ada di sekitarnya.

Lelaki itu mendecakkan lidah dengan sengaja. Membuat Karma menoleh dengan mata semerah darah ke arahnya.

"Apakah namamu Akabane Karma?"

Karma tertawa lirih. Dia tidak merasa gentar terhadap lelaki bertubuh tegap di ujung sana. Ia memutar pedangnya sebentar sebelum menjawab dengan suara bergetar.

"Kalau iya kenapa? Apa kau punya urusan denganku?"

Karma mengutuki orang yang datang mengganggunya ini. Dia bagai gunung berapi yang siap meletus sekarang. Bagaimana bisa puncak kemarahannya harus tertahan oleh gangguan sepele seperti menanyakan namanya?!

Lelaki itu mengendikkan bahunya.

"Sebenarnya, tidak. Hanya saja kupikir kau perlu melampiaskan kemarahanmu itu, eh?"

Ia berjalan dengan santai ke rak penyimpanan senjata, mengambil pedang yang sama dengan yang Karma pegang dan menghampiri Karma yang menatapnya awas.

"Para boneka itu tidak bisa melawan dan hanya bisa pasrah dengan sabetan pedangmu. Bukankah itu sedikit membosankan?"

Mata Karma memicing.

"Jangan basa-basi. Katakan saja apa maumu."

Lelaki asing itu tertawa lirih.

"Singkatnya, aku bersedia melakukan sparring denganmu."

Dia melemaskan otot leher saat mengatakannya. Karma tersenyum lebar. Tawaran bagus. Dengan ini dia bisa melampiaskan kemarahannya sepenuh hati.

"Terima kasih telah menawarkan diri menjadi karung tinjuku, aku sangat senang. Tapi apakah kau yakin tuan? Aku tidak menjamin kau masih bisa berdiri setelah melakukan sparring denganku."

You and MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang