/satu

1.3K 176 35
                                    

Enam bulan sebelumnya...
.
.

"Azady, tolongin buruan!" Suara seruan itu memenuhi koridor dimana Azady, perempuan dengan rambut tergerai sepunggung itu sedang berjalan.

Semua perhatian orang-orang yang berlalu lalang lantas teralih menatap Gilang--yang baru saja berseru--sebelum kemudian menatap Azady dengan penasaran. Azady menoleh, namun belum sempat ia bertanya tangannya sudah lebih dulu ditarik oleh Gilang dan diseret entah kemana.

"Apaansi Lang? Kenapa lo narik-narik gini?" Tanya Azady sewot, meskipun tetap ikut berlari kecil untuk menyeimbangi kecepatan cowok itu.

"Gamma, Dy."

Gamma, satu nama itu.

Ah. Azady bahkan hampir melupakan fakta bahwa pacarnya itu adalah salah satu sumber utama ketidaktenangan Azady selama di kampus. Tanpa bisa dihindari, perempuan itu menghela napas kesal.

"Sama siapa?"

"Arkan," jawab Gilang sambil meliriknya sekilas. "Ayo Dy cepetan, anak orang keburu mati."

Gilang kemudian lantas mempercepat langkahnya, begitupun dengan Azady yang mengikutinya sampai mereka tiba di parkiran utama dimana keadaan sudah sangat ramai dengan lingkaran manusia yang mengelilingi Gamma yang sedang murka itu.

"Lama banget lo, gue hampir mau mati ditonjok juga tadi!" Seru Kafi yang langsung keluar dari kerumunan begitu melihat Gilang dan Azady tiba.

Azady mendecak malas bercampur kesal, namun tetap berjalan membelah kerumunan diikuti dengan Kafi dan Gilang dibelakangnya. Begitu Azady berada di barisan paling depan, yang pertama kali ia lihat adalah Gamma yang sedang menduduki perut Arkan sambil menarik kerah baju cowok itu.

"Ngomong lagi sini lo bangsat?! Kenapa sekarang malah diem?!" Teriak Gamma pada Arkan yang sudah terbaring kehabisan tenaga dengan badan yang lebam-lebam serta berdarah. Namun sebaliknya, keadaan Gamma cukup berbeda dengan Arkan dimana hanya sedikit bagian tubuhnya yang terluka.

"Gamma!" Seru Azady sebelum sebuah pukulan sempat melayang lagi. Gamma menoleh dengan terkejut begitu mengenali suara yang memanggilnya.

"Loh, Azady?" Tanya Gamma kebingungan sambil bangkit dari posisinya untuk menghampiri Azady yang sekaligus memberi waktu bagi Arkan untuk bisa bernapas. "Lo kenapa bisa disini?"

"Lo yang ngapain disini?! Lo mau buat anak orang mati hah?"

"Kok lo malah marah-marah?"

"Siapa yang nggak bakal marah kalau gue harus ngeliat lo kayak gini lagi?"

"Lo nggak tau apa-apa, jangan buat gue juga marah sama lo." Sahut Gamma dingin, namun detik berikutnya tatapannya kembali menghangat.

"Lo pulang aja ya, Dy. Lo nggak seharusnya ada disini. Orang brengsek mana yang bawa lo kesini?" Tanya Gamma lagi.

"Lo orang brengseknya."

Gamma terdiam, ia tidak akan mengelak perkataan Azady barusan. Lagipula tanpa perlu Azady menjawab cowok itu sudah lebih dulu tau jawabannya ketika melihat Gilang dan Kafi yang berdiri di belakang Azady.

Gamma lantas bergantian menatap Gilang dan Kafi sinis, tanda tak suka. "Bangsat lo."

Ia kemudian berbalik menatap Arkan yang kini sedang berusaha berdiri dengan bantuan temannya. "Bersyukur lo Azady dateng, kalo pengecut nggak usah nantangin gue. Dasar sampah." Ujarnya sebelum pergi meninggalkan kerumunan begitu juga dengan Azady yang terdiam ditempatnya.

Hah. Sabar, Azady.
.
.

Azady
Kalau lo mau diobatin, gue ada di uks fakultas gue.
Kesempatan nggak datang dua kali.

Azady lagi-lagi mengecek ruang obrolannya dengan Gamma, sudah dua puluh menit berlalu sejak Azady mengirimkan pesan tersebut dan setengah jam sejak insiden di parkiran utama tadi, namun tidak ada tanda-tanda Gamma membalas pesannya ataupun datang menemuinya.

Masih dengan perasaan kesalnya, akhirnya Azady memutuskan untuk pulang namun bertepatan dengan pintu uks yang terbuka, menampilkan Gamma dengan penampilannya yang berantakan.

"Maaf." Ungkap Gamma pelan sambil berjalan menghampiri Azady dengan kepala sedikit tertunduk.

"Kenapa? Lo berubah pikiran?"

Gamma mengangguk. "Iya. Kuat juga pukulan Arkan, sial."

"Terus?"

"Sakit Azady, tolong obatin." jawab Gamma kemudian duduk di kursi dekat Azady sementara perempuan itu sudah teralih untuk mengambil kotak P3K di laci uks.

"Basuh dulu lukanya sama air sana, bisa kan? Harusnya bisalah, lo aja kan bisa berantem." Suruh Azady dengan sarkas serta nada juteknya.

"Iya bisa, nggak usah marah-marah Dy." Sahutnya sambil beranjak.

Kemudian sekembalinya Gamma setelah membasuh lukanya, Azady langsung mengobatinya dengan betadine yang ia tuang pada beberapa lembar kapas.

Azady benar-benar menghindari percakapan jika suasana hati keduanya sedang tidak baik, meskipun ia sadar bahwa Gamma terus menatapnya dengan lekat sejak tadi.

"Kenapa ngeliatin terus sih? Gue risih." Gamma tersenyum tipis mendengarnya.

"Gapapa. Lo cuma nggak seharusnya disana tadi, bahaya." Ucap Gamma lembut membuat Azady lantas mendongak menatapnya. "Gue nggak bisa bayangin kalau lo juga kena pukul tadi."

"Kalo lo khawatir sama gue harusnya lo nggak nyari gara-gara terus kan."

"Gue serius Azady."

"Emang gue keliatan bercanda?"

Gamma lantas berdecak kesal kemudian menghebuskan napas kasar. Ia tidak ingin terpancing emosi dengan Azady, oleh karena itu ia memilih untuk diam. Sementara Azady merekatkan plester pada punggung tangan Gamma sebagai tahap akhir sebelum membereskan kembali kotak P3Knya.

Setelah beberapa menit Gamma masih saja terduduk manis sementara Azady sudah hendak beranjak pergi yang membuat perempuan itu kembali menatapnya aneh. "Ngapain diem? Ayo pulang."

Gamma tersenyum canggung sambil berjalan mendekati Azady kemudian memegang kedua pundaknya dengan lembut. "Lo pulang sama Gilang ya, gue masih ada urusan."

"Mau ngapain? Jangan nyari masalah lagi, Gam."

"Lo nggak perlu tau." Jawabnya. Namun begitu melihat perubahan raut wajah Azady yang kembali terdiam kesal cowok itu lantas mencubit pipi Azady gemas. "Gausah kesel. Gue nggak bakalan buat lo khawatir dua kali dalam satu hari."

"Sejak kapan omongan lo bisa dipercaya?"

Gamma lagi-lagi tersenyum geli. "Serius sayang. Jangan khawatir, urusan biasa kok."

"Gausah sayang-sayang!" ujar Azady dengan wajah yang terkesan geli dengan perkataan Gamma barusan. "Tapi urusan lo nggak sama Arkan lagi kan?"

"Engga tau."

Azady memutar bola matanya malas ketika mendengarnya. Harusnya ia sadar mana bisa dirinya mengharapkan Gamma. "Iyaudah terserah lo aja deh, capek juga gue larang-larang." Azady kemudian melangkah pergi sebelum kembali ditahan oleh Gamma.

"Sama Gilang ya, Dy, atau sama Kafi."

"Gue bukan anak kecil."

"Azady." yang dipanggil lantas menelan ludah gugup. Kalau Gamma sudah memakai nada penekanan seperti ini, Azady mana ada kesempatan menolaknya.

"Iya Gamma jangan bawel!"

"Gue cuma gamau lo kenapa-kenapa, apalagi abis gue berantem sama Arkan tadi. Lo tau kan kalau gue sayang sama lo?"

Iya.

Azady harap ia bisa menjawab pertanyaannya seperti itu, namun kenapa setiap kali Gamma berujar demikian tenggorokannya selalu tercekat membuatnya tak mampu mengiyakan.

•••••

Hihihi

13.36 pm
12 February 2021

Ruang JedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang