Azady menatap lurus pada beberapa anak kecil yang sedang asik berlari, mengejar buih-buih gelembung yang ditiup salah seorang diantara mereka, selagi tangannya tak berhenti mengelus punggung tangan Gamma yang menggengamnya erat.
Sementara Gamma masih setia diposisinya sejak setengah jam yang lalu, menyandarkan kepalanya pada bahu kecil milik Azady selagi menggenggam tangannya erat. Mencari kehangatan serta kekuatan kala di taman sore itu.
Sejak sepulang dari tempat Alaska hingga akhirnya cowok itu memilih untuk berhenti di taman kota, Azady tau dan paham betul bahwa perasaan pacarnya itu sedang campur aduk. Bahkan ditengah ia bercerita mengenai dirinya dan Alaska pun, Azady tau bahwa Gamma susah payah menahan tangisnya.
Jadi disinilah Azady, berusaha sebisa mungkin menjadi sandaran untuk Gamma dan mengangkat sedikit beban perasaan cowok itu untuk dibagi dengannya.
"Lo nggak sebrengsek yang lo pikirin, Gam. Jangan berpikir kayak gitu ah." Sahut Azady setelah mendengarkan perkataan Gamma yang lebih banyak menyalahkan dirinya sendiri.
"Tapi, Dy, i was playing with her feelings. Cuma karena gue nggak tau apa yang sebenernya gue rasain buat dia." Jelas Gamma sambil lebih mendekatkan dirinya pada Azady. Bersikap manja. "And even worse, gue nggak tau kalau dia lagi sakit. I didn't know she needed me really bad but most of the time gue selalu nggak ada."
"Bener kata Gilang nggak sih, kalau gue itu tolol banget. Bisa-bisanya nggak sadar kalau Alaska lagi sakit padahal dia paling deket ke gue." Kata Gamma dengan raut wajahnya yang berubah sedih. "Kalau gue inget-inget lagi, gue tuh suka mau maki diri gue sendiri tau, Dy. Kayak, Gamma lo tolol banget sumpah, bego, Alaska lagi kesakitan tapi-"
"Hey, hey," Azady memotong ucapan cowok itu, menatap Gamma lekat sebelum cowok itu mengubah posisinya menjadi tiduran di pangkuan Azady. Mengabaikan pandangan orang lain di taman yang sesekali menatap mereka menelisik. "Lo nggak seburuk itu, Gamma. Mungkin emang beberapa poin lo salah, tapi lo nggak memperlakukan Alaska seburuk yang lo pikirin. You did great."
Gamma masih merengut, ujung-ujung bibirnya tertarik kebawah. "Tapi tetep aja gue brengsek, Dy. Soalnya gue nggak ngebuat garis yang jelas antara gue dan Alaska."
"Gue sayang dia, sayang banget, i swear i love her back then. Tapi gue juga yang terus nyuruh dia mundur saat itu." Azady memilih untuk kembali diam dan mendengarkan, sementara jemarinya kini bergerak untuk menyisir rambut Gamma lembut.
Cemburu? Tentu saja ada perasaan seperti itu meskipun sedikit. Tapi Azady juga sadar dan paham bahwa sosok Alaska bukanlah seseorang yang pantas untuk dicemburui. Toh, ini hanya cerita tentang masa lalu.
"But when she did, gue juga yang berusaha buat dia balik lagi ke sisi gue because i miss her." Ujar Gamma lirih, masih tak mengerti dengan dirinya sendiri saat itu. "I really don't deserve Alaska like i don't deserve you right now."
Azady menghentikan kegiatannya, menatap Gamma dengan penuh tanda tanya. "Kenapa lo berpikir kayak gitu?"
"Karena gue masih nggak yakin sama diri gue sendiri apakah gue bisa jaga lo dengan baik atau enggak. Gue aja gagal ngejaga Alaska. That's why, perhatian gue selalu berlebihan ke lo, because i'm scared. Gue takut gue nggak cukup pantas buat lo."
Azady menghembuskan napasnya karena dadanya mulai terasa memberat, perasaan Gamma padanya seolah menjadi penyebab utama dari perasaan yang timbul dihatinya itu.
"Gamma, listen, ya. Mungkin lo emang masih terus ngerasa bersalah sama Alaska, tapi lo harus move on. Live your life. Bener kata Kafi dan Gilang, lo nggak bisa stuck di rasa bersalah lo kayak gini. You treat me like you should've treated Alaska," Azady memberi jeda, selagi mengambil napas panjang. "Bukan kayak gitu caranya, Gam. Emangnya dengan lo kayak gini Alaska diatas sana nggak bakal sedih ngeliatnya? you always blame yourself as you mourn her. Gue bukan ngelarang lo ngerasa bersalah, wajar lo ngerasa kayak gitu, but don't make it as a trauma for you."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Jeda
Teen Fiction"Lo mau kita udahan?" Pertanyaan yang akhirnya keluar susah payah dari mulut Gammario mampu membuat mata Azady kini memanas. Ia tidak mengerti kenapa keadaan bisa sampai sekacau ini. "Gamma gue-" "Ayo gue turutin Dy, kalo emang itu mau lo." Kini air...