/dua puluh satu

481 36 55
                                    

"Sorry, gue ngebangunin lo ya?" Azady bertanya ragu-ragu setelah mengumpulkan banyak keberanian untuk menelepon sosok disebrang telepon sana.

"It's 2 in the morning, Azady." Gamma mengusap wajahnya kasar, berusaha membuat dirinya sadar dengan cepat karena telepon dari gadisnya itu yang tidak seperti biasanya. "Kamu kebangun atau belum tidur? Did something bother you?"

Bukannya menjawab, Azady malah tanpa sadar menghela napas pelan namun tedengar berat, seolah ada beban berat yang menghimpit dadanya.

Gamma yang sudah hampir hapal seluruh kebiasaan Azady tentu langsung menangkap kondisi perempuan itu, bukan kearah yang baik tentunya. Ditambah ia beberapa kali mendengar suara kendaraan lewat dari tempatnya Azady, seolah menunjukkan bahwa perempuan itu tidak sedang berada di rumahnya saat ini.

"Kamu dimana? Aku susul ya?" Tawar Gamma dengan nada lembutnya, tidak ingin Azady berpikir macam-macam.

"Langitnya bagus deh Gam, banyak bintang juga. Tumben banget keliatan padahal Jakarta banyak polusinya." Lagi-lagi Azady menolak menjawab, membuat Gamma langsung dengan cepat turun dari tempat tidurnya dan mengambil jaketnya. "Kalau ngeliat kayak gini, kayaknya dunia nggak seburuk itu juga ya?"

"Iya, makanya kamu dimana biar aku sus-"

"Tapi kenapa dunia gue selalu keliatan buruk ya? Setiap harinya sama. Memuakkan." Gamma langsung berhenti melakukan kegiatannya dan terdiam ditempatnya. Ini kali pertamanya Azady mengeluhkan dunianya pada Gamma, tapi kenapa rasanya sakit? Kenapa Gamma tidak pernah tau tentang pandangan Azady terhadap dunianya? Kenapa Gamma selama ini tidak bisa melihat semua itu.

"Dy, lo..." untuk sesaat Gamma merasa tercekat, tak tahu harus berkata seperti apa. Dirinya seperti kebingungan dan hanya satu pertanyaan kecil yang mampu keluar dari mulutnya. "Lo gapapa kan?"

Ditanya seperti itu perempuan itu malah menarik napas panjang seolah berusaha menetralkan perasaannya dan terkekeh pelan. "Sorry, sorry, malah jadi ngelantur. Gue gapapa kok, Gam, just missing your voice, makanya gue telepon." Jawab Azady mengelak seraya terkekeh kecil.

"Azady." Panggil Gamma dengan penekanan lembut. "Kalau kamu emang ngerasa lagi nggak baik-baik aja, just say it. Mengakui nggak membuat kamu jadi terlihat lemah."

Azady hanya diam mendengarkan seraya menghalau air matanya agar tidak turun sebelum berujar. "Kamu di apart kan? Aku nginep boleh?"

"Aku jemput, kamu dimana?"

"Gausah, aku aja yang kesana sekalian aku nenangin pikiran dijalan dulu, ya?" Meskipun Gamma tidak setuju dengan pilihan perempuan itu, namun ia tidak akan memaksa untuk saat ini.

Karena dunia perempuan itu sedang tidak baik-baik saja, dan Gamma hanya ingin menjadi rumah singgah yang baik untuknya. Setidaknya Gamma tidak ingin menambah pelik suasana hati Azady.

"Yaudah, hati-hati. Gue tunggu lobby ya." Ujar Gamma pada akhirnya, menyetujui. "Jangan lama-lama mikir dijalan ya, Dy. Mikirnya bisa di tempat gue aja, sama gue."

Azady tersenyum geli, sebelum mengiyakan dan mematikan sambungan. Memilih sedikit bersandar pada Gamma ternyata tidak buruk juga.

•••••

Sudah satu jam sejak Azady tiba di unit apartment milik Gamma dan sekarang perempuan itu sedang tertidur meskipun sejak datang ia hanya diam dan tidak mampu menceritakan apapun pada Gamma.

Cowok itu bahkan kini hampir berlari menuju kamarnya begitu mendengar suara Azady yang seperti terbangun kaget dan bermimpi buruk. Ia duduk disamping dan berhadapan dengan Azady yang terduduk menunduk menatap selimut putihnya seraya menggumamkan satu nama yang masih sanggup Gamma dengar dengan jelas. Sekala.

Ruang JedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang