"Hopeless"
Part 13
"Heh!" Stefie menyenggol sikut (namakamu) yang sedari tadi masih melongo seperti orang tolol.
(Namakamu) terkejut, segera ia menganggukkan kepalanya lalu tersenyum penuh kegetiran.
***
Ya Tuhan.” Desis (namakamu) yang kini terduduk lemas di kursi kerjanya. Menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
“(namakamu)?” Stefie terheran dengan tingkah sahabatnya ini yang sedari tadi tidak melakukan aktivitas apapun, sibuk dengan kebingungan yang ia buat sendiri.
Stefie membiarkan (namakamu) tetap dalam posisinya seperti itu. Mungkin setelah dia tenang, dia akan berbicara begitulah kira-kira pikiran Stefie.
“(namakamu).” Stefie kembali memanggil nama sahabatnya itu yang masih tak bergeming.
“(namakamu).” Untuk kedua kalinya Stefie memanggil (namakamu) lebih keras dari sebelumnya namun tetap tidak ada jawaban.
“(NAMAKAMU).” Stefie kini setengah membentak (namakamu) membuatnya terperanjat kaget luar biasa.
“STEFIE! Lo bisa nyelow kan? Gue ga budekk Steff. Ok? Please!!!" (namakamu) nyolot.
“Kalau lo ga budek, kenapa lo ga nyaut, dari tadi Pak Hendra manggil Lo!” Stefie tak kalah nyolot.
“Maksudnya?” (namakamu) tak mengerti, ia kini merendahkan suaranya.
“Tuh!” Stefie menunjuk dengan bibirnya ke arah pintu masuk ruangan.
“(NAMAKAMU).” Pak Hendra yang berdiri di ambang pintu memanggilnya penuh nada kesal, entah sudah berapa lama ia berada di sana. Sepertinya sudah lama terlihat dari wajahnya yang sangat murka.
“Ya Pak.” (namakamu) berlari kecil menghampiri Pak Hendra, sedangkan Stefie hanya menggeleng melihat tingkah (namakamu).
Pak Hendra membisikkan sesuatu pada (namakamu) lalu ia beranjak pergi.
‘DEG’
(namakamu) seakan ling lung, mendadak otaknya tidak berjalan normal, melangkah menuju tempat yang diperintahkan Pak Hendra.
Batinnya tak karuan, jantungnya berdegup hebat, dan tangannya banjir keringat.
‘TOK…TOK…TOK…’
(namakamu) mengetuk pintu dengan gemetar.
“Masuk.” Ucap seseorang di dalam sana suaranya sangat familiar.
Wajah cantiknya, rambut panjang sedikit curly, kemeja berwarna baby pink, serta rok pendek selutut. Membuat pria yang sedang duduk di kursi kerjanya ini tersenyum memandanginya.
“Selamat sore Pak.” (namakamu) begitu gugup mencoba untuk bersikap formal.
Pria ini melirik jam tangannya, 13.45.
“Selamat siang.” Koreksinya mencoba bersikap formal juga mengikuti (namakamu).
(Namakamu) tersenyum getir, mengutuk dirinya sendiri, bisa- bisanya ia bertindak bodoh seperti itu.
“Silahkan duduk.” Ucapnya tersenyum ramah. (namakamu) masih tertunduk tak berani menatap pria yang kini ada di hadapannya.
“Tidak menyangka kita akan bertemu di sini ya? Sudah berapa lama kita tidak bertemu. Bagaimana kabarnya?” pertanyaan pria tersebut berderet.
“Baik Pak.” (namakamu) masih tertunduk mencoba setenang mungkin mengangguk dan tentu saja masih dengan senyum getirnya disertai detak jantungnya yang tak karuan.