the one

552 72 196
                                    

Saya tulis sekali datang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saya tulis sekali datang.

Dua dasawarsa usia saya di abad ini dan salah satu tahunnya bersemuka dengan kamu. Entah tepatnya tahun ke berapa, tetapi saya ingat saat itu kamu sedang memuliakan ulang tahun.

Jika nanti saya tepergok sedang mengupas habis tentang kamu pada ibu, jangan marah-marah, ya? Apalagi kalau kamu memboyong si putih berbulu untuk menggertak saya. Astaga, yakin rumah saya akan menjelma menjadi lapangan maraton. Ingat, saya fobia si putih berbulu.

Vin, selepas bertemu kamu, saya tidak pernah sejejak pun menengok jalan lama sebelum berpenghuni di samping rumah kamu. Kira-kira, meskipun rumah lama saya terlanda bahala pun, saya tidak menaruh peduli. Apa karena ada kamu di samping saya?

Hari itu, bukankah hari rabu wage tepat ulang tahun kamu yang saya saja tidak tahu berapa kian? Para sejawatmu datang membopong kue tar yang lalu terjun pada ubun-ubun. Saya lihat kamu malah tergelak dan pontang-panting di halaman rumah. Entah bagaimana saya sudah nangkring di samping pohon mangga rumahmu, padahal tadi sedang mengguyur bunga di taman ibu.

Kamu masih berhanyut-hanyut dengan lemparan sisa-sisa kue itu, dan tak sengaja menunaikan kesalahan. Adonan tepung pada genggamanmu berlabuh pada surai saya. Sejenak, sibakan bulu mata kamu mewakili angin monsun yang meliuk-liuk pada lajur pipi. Bilah labium merah jambumu terpoles krim putih membuka lebar, mengundang kawanan lebah bertamu.

"Oh, lihatlah kamu mirip badut." Katamu setelah berkedip dan menelan ludah.

Ingin saya tanyakan, mengapa dari seribu satu kalimat merasa bersalah, kamu memilih badut? Akan tetapi Vin, sore itu saya malah senggang-senggangnya mengimbangi ucapanmu bersama rambut putih karena serta muliamu. "Saya terkena sedikit sudah mirip badut, kenapa kamu yang hampir seluruh wajah masih terlihat cantik?"

Oh, sungguh. Saya selayang pandang memergoki semburat delima di tumpukan pipimu. Kawananmu bersorak, begitu pun dengan awan kumulus yang porak poranda mewakili saya yang tersadar akan kalimat aneh itu.

Saya kembali melongok paras kamu yang teraup warna-warni krim di sela hilir angin dengan daun-daun kering lepas dari sapu tetangga. Kamu masih cantik dengan rambut cokelat menyapu punggung.

"Kamu sedang menggodaku?"

Oh?

"Saya berkata jujur."

Sorak-sorai temanmu menjejali kepala hingga saya menggaruk bagian belakangnya, sungkan. Saya kemudian merenungi kekhilafan telah mengacaukan acara ulang tahunmu, sebelum kamu kembali berbicara, "terima kasih. Kamu memberiku hadiah yang baik tahun ini."

Sungguh, sore itu sambungan urat nadi saya amburadul. Lebih tidak karuan lagi, ketika si putih berbulu menongol dari balik mata kakimu. Saya lupa daratan, mengaprit menuju rumah, dan tak sempat meminang namamu.

Lamun, sekarang saya sudah tahu namamu, Vindth Soyala. Sudah tahu kepiawaianmu di sudut yang bagaimana. Sebab, untungnya kamu sudi mengasongkan jemari.

Jika sudah bablas begini, bolehkah saya membukukan kamu? Bisakah saya mengisahkan baiknya kamu dalam layangan jemari pada not-not gagu buku saya? Saya harap saat kamu menjumpai ini, kamu sedang tersenyum.

Vin, apa boleh saya memburaskan kamu?

Januari 30, 2021
Di sini mendung dari subuh, Vin.

dasawarsa winduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang