"Sikap cuek itu mudah sekali membunuh empati dan simpati. Maka berhati-hatilah saat hati ini mulai mati."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Tadi pagi Pak Yan memberanikan diri mengunjungi rumah mantan istrinya, ada sedikit rasa penasaran karena sudah lama tak melihat wajah wanita yang sempat membuatnya jatuh hati. Dia juga ingin memutus tali rindu pada anak-anaknya. Semoga kedua anaknya sedang berada di rumah.
Namun, pintu rumah wanita itu tak segera terbuka dan mungkin tidak akan pernah terbuka. Lama menunggu di depan teras yang sudah tidak terawat, Pak Yan memutuskan mendobrak pintu. Sungguh mengejutkan melihat pemandangan di dalam yang tak jauh beda dengan teras. Sama-sama terlihat kacau. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sini.
Lalu seorang ibu-ibu berkaca mata menghampiri Pak Yan, menanyakan hendak mencari siapa di rumah kosong ini. Lantas ibu itu memberitahukan kalau penghuni rumah ini sudah setahun yang lalu meninggal.
"Itu bermula ketika para tetangga mendengar kegaduhan dari rumah ini, dan melihat polisi menangkap seorang pria, desas-desus mengatakan kalau dia melakukan penipuan besar. Semenjak saat itu anak gadisnya sering pulang malam. Entah apa yang dia lakukan, sampai suatu hari terdengar kabar bahwa gadis itu dibunuh oleh orang yang hendak melecehkannya. Seminggu setelah kejadian itu, ibunya ditemukan tewas gantung diri."
Jelas ibu berkacamata itu pada Pak Yan. Pria tua itu kehilangan kata-kata saat mengetahui keluarganya telah pergi, napasnya tercekat. Ibu berkacamata memberitahu tempat yang bisa Pak Yan kunjungi saat ini. Pak Yan mengangguk dan mengucapkan terima kasih, lantas pergi menuju tempat yang dimaksud.
"Bagaimana dengan putramu?" Jundi menyimak cerita Pak Yan. Mereka telah selesai menghabiskan makan malam. Keduanya duduk berhadapan di ruang teras yang langsung menghadap halaman luar.
"Aku juga belum tahu. Dia masih saja tidak menjawab teleponku. Kalau tidak salah ingat, terkahir kali dia datang ke rumah ini saat usianya 16 tahun, itu berati setahun yang lalu."
"Itu tahun dimana ibunya meninggal, bukan?"
Pak Yan mengangguk, dia juga baru tahu kalau malam itu putranya tengah dalam keadaan kacau. Sebesar apa pun usaha Pak Yan untuk membuka mulut putranya, itu tidak akan berhasil. Akhirnya dia membiarkan putranya begitu saja. Dirinya sudah terlanjur diselimuti rasa dongkol. Ego telah merebut sebagian hati nuraninya.
"Andai saja aku tahu keadaannya. Mungkin aku bisa bersikap lebih baik. Mungkin putraku hanya belum mau bicara saat itu. Harusnya aku sabar, menunggu dia mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi." Pak Yan menghela napas. Cangkir berisi kopi itu didekatkan pada bibirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Afterthought
Teen FictionDunia terlalu sempit untuk lari dari masalah. Daripada dihindari dan membuat lelah, lebih baik mengadapi apapun resikonya. Namun, tidak semua paham akan makna sebuah masalah. Seperti halnya kisah seorang Pemuda bernama Jundi- yang menyalahkan ayahny...