3

36 15 16
                                    

"Menjadi minoritas diantara mayoritas memanglah sulit. Tapi bukan berarti kamu harus menyerah."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.


Menampakan muka di hadapan teman-teman adalah hal yang ingin Jundi hindari. Semalaman dia terus mengurung diri di kamar. Dia tidak menggubris suara ayahnya. Telinga sudah muak mendengar suara, dia sudah lelah dengan semua yang menimpanya.

Walaupun begitu, Jundi tetap bisa mendengar semua yang ayah ucapkan malam itu. Ayah mengaku telah kehilangan pekerjaan. Banyak hutang yang belum di bayar, jadi ayah terpaksa memblokir kartu ATM.

Usia Jundi memang baru 17 tahun, tapi dia sudah cukup mengerti kalau hidupnya akan menjadi sulit-untuk beberapa waktu kedepan. Bahkan Jundi tidak yakin kalau dia bisa bertahan.

Situasi ini terasa deja vu, sama seperti pertama kali saat ditinggal ibu. Bedanya- saat itu Yogi datang menyulam harapan baru untuk Jundi.

Lalu sekarang Jundi tidak yakin, apakah Yogi akan tetap di sisinya. Atau meninggalkannya di ruang gelap. Kepercayaan diri Jundi telah runtuh bersama harapan-untuk tetap hidup bahagia.

Jundi jadi lebih pendiam di sekolah. Setiap kali Yogi dan Naomi mengajak bicara, Jundi selalu menundukan wajahnya. Merasa malu menampakan muka di depan teman-teman yang penuh pertanyaan.

"Kamu terus mengabaikan kami, ada apa sebenarnya?" Naomi pindah duduk di sebelah Jundi. Saat ini sedang istirahat, dia baru saja datang dari kantin.

Tangan mungil Naomi menggapai telapak tangan Jundi. Dia tersenyum sebisanya. Berharap Jundi mau mengangkat wajah.

"Hei! Nanti kita kumpul di cafe lagi. Jangan ada yang telat!" seru Yogi di tengah Naomi dan Jundi. Sambil berjalan menuju area depan kelas.

Tiba-tiba Jundi mengangkat wajahnya. Naomi tersenyum lega. Tapi tatapan Jundi masih kosong. Bagian bawah matanya terlihat lebih gelap.

"Aku tidak ikut dulu." Jundi menolak perintah Yogi. Pandangannya menurun kembali.

Langkah Yogi terhenti, dia menoleh pada Jundi yang terlihat gelisah. Lalu tatapannya pindah pada gadis di sebelah Jundi.

"Kamu sakit ya?" Tangan Naomi menempel di dahi Jundi.

Yogi bisa melihat anggukan kepala Jundi, dia menghela napas. Memilih mengabaikan Naomi dan Jundi di bangku belakang. Lalu mengalihkan dengan mengobrol bersama Haris serta beberapa teman yang sedang berkerumun di area depan kelas.

Jundi sendiri tidak tahu harus bagaimana. Dia ingin jujur pada teman-temannya-tentang kondisi keluarganya. Hanya saja rasanya sulit. Ketakutan ini semakin menjadi setiap saat.

Bel pulang sekolah menggema di seluruh banguan. Wajah bahagia bermekaran menyambut waktu pulang. Mereka keluar dari kelas satu persatu. Termasuk Jundi, yang berjalan tanpa rasa.

AfterthoughtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang