"Setelah hujan mengantarkan air pada tanah, ia pergi menghilang. Menunggu datangnya mendung tuk menjemput air kembali."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
✨
15 Februari 2020
Jay sedang berjalan melewati koridor, pandangannya tertuju pada payung lipat di tangan kirinya. Secarik senyum menghiasi wajah manis Jay. Dia selalu terlihat positif setiap saat. Walau kenyataan hidupnya berbanding terbalik—dengan sikap yang Jay perlihatkan.
Selepas bel istirahat berbunyi, Naomi mendatangi kelas Jay, sontak seluruh penghuni kelas memandang sinis pemuda itu. Siapa Jay sampai gadis populer seperti Naomi mau menemuinya?
Tapi Jay tak menghiraukan tatapan teman-temannya. Dia sudah terbiasa di pandang sebelah mata—hanya karena dia berbeda. Kebanyakan penghuni sekolah ini adalah anak orang kaya, yang tidak perlu lagi bekerja untuk membayar uang sekolah.
Entah mereka yang manja atau Jay yang terlalu rajin. Karena bagi Jay, kalau dia bisa membayar biaya hidupnya sendiri kenapa harus bergantung pada orang tuanya. Ini bukan lagi soal harta, tapi ini adalah prinsip untuk menjalani hidup.
Bersikap positif membantu suasana hati Jay membaik setiap detik. Seakan tiap langkah yang Jay buat seperti memancarkan cahaya. Dia tidak berhenti tersenyum sambil berjalan.
Tiba-tiba sebuah bayangan memotong langkah Jay. Presensi sekelompok pemuda di hadapannya, membuat genggaman tangan Jay pada payung semakin erat.
"Ada apa ini?" ujarnya masih dengan senyum—yang sedikit cemas.
Tanpa banyak kata, Yogi mengintruksi ketiga temanya untuk menghajar Jay.
Haris meninju bagian perut. Dibantu David dan Isam yang memegangi lengan Jay.
KAMU SEDANG MEMBACA
Afterthought
Teen FictionDunia terlalu sempit untuk lari dari masalah. Daripada dihindari dan membuat lelah, lebih baik mengadapi apapun resikonya. Namun, tidak semua paham akan makna sebuah masalah. Seperti halnya kisah seorang Pemuda bernama Jundi- yang menyalahkan ayahny...