"Mereka tidak pergi dengan percuma, karena syarat untuk pergi adalah menyelesaikan misi."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
✨
Dalam benak Jundi, ditinggalkan ibunya adalah hal paling mengerikan. Namun, kini dia mengalami sesuatu yang lebih parah. Ayahnya kehilangan pekerjaan, teman-temannya menjauh, hidupnya di penuhi hutang, dan sekarang—alam pun tak memihak padanya.
Tubuhnya basah diguyur hujan yang turun satu jam lalu. Netra Jundi menatap telapak kakinya yang kosong tanpa sepatu. Jalanan terasa dingin dan kasar di kulit kaki Jundi. Dengan penampilan yang sudah tak berbentuk dia melanjutkan langkah menuju rumahnya.
Sesampainya di rumah, tangan kebas itu mendorong pintu. Air menetes dari ujung pakaian Jundi. Perhatian ayah langsung beralih pada pintu, lebih tepatnya pada sosok yang basah kuyup.
"Kau kenapa, Nak?" Pria berusia 40 tahun itu memastikan keadaan anaknya. "Apa yang terjadi, kenapa penampilanmu seperti itu dan ... Sepatumu, kemana perginya alas kakimu?"
Pertanyaan cemas ayah di balas tatapan dingin Jundi, mata itu sudah memerah tapi tak bisa mengeluarkan air mata.
"Bisakah Ayah mengambil pisau?"
"Sebaiknya kau mandi, kita harus bicara, Nak." Tangan ayah melepaskan tas dari punggung Jundi.
"Enyahlah dari sini!" teriak Jundi dengan tatapan nyalang. Dia menepis kasar tangan ayahnya.
"Nak, bisakah kau bersikap lebih baik untuk sekali saja? Ini hari peringatan kematian ibumu. Dan kau malah—"
Ucapan ayah terpotong karena Jundi segera pergi dari depan pintu. Pandangan Jundi bertemu tatapan nanar ayah. Batinnya telah beku bersama hembusan angin yang dingin. Tak ada perasaan iba apalagi respek pada ayahnya. Dia tidak menginginkan apapun.
Jundi bisa melihat ayahnya yang pergi keluar rumah, menyangking payung bewarna hitam di tangan kirinya. Masa bodoh jika ayahnya pergi, toh lebih baik begitu—pikir Jundi.
Ingin rasanya menjadikan hari ini sebagai hari peringatan kematian dia dan ibunya.
Selepas ayah pergi dia menuju dapur, membuka setiap laci, mengacak-acak rak alat masak. Dan akhirnya menemukan benda yang sedari tadi ia cari. Kilatan cahaya memantul dari sisi pisau.
"Aku sudah tidak menginginkan apapun di dunia ini. Dan sudah tidak ada yang menginginkanku hidup. Bu ... aku akan menemuimu."
Ketika diri ini telah melepaskan segalanya tentang dunia dan isinya. Momen di mana semua hasrat telah padam di siram kehampaan. Perlahan sayatan tipis mulai mengenai lapisan kulit Jundi.
Di saat itu pula, Tuhan mengirim lampu merah untuk mereka yang belum menyelesaikan misi di dalam hidup.
Meong. Suara manis kucing putih menginterupsi pendengaran Jundi. Mahkluk kecil itu melompat ke atas meja makan. Menyenggol tangan Jundi dan seketika pisau itu terjatuh dari genggaman tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Afterthought
Teen FictionDunia terlalu sempit untuk lari dari masalah. Daripada dihindari dan membuat lelah, lebih baik mengadapi apapun resikonya. Namun, tidak semua paham akan makna sebuah masalah. Seperti halnya kisah seorang Pemuda bernama Jundi- yang menyalahkan ayahny...