8

21 8 1
                                    

"Kadang terjebak dalam satu keadaan yang sama membuat empati tumbuh lebih cepat. Itu yang membuat kita merasa 'satu frekuensi'."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.




.




.





.   .   .   ✨   .   .   .










Pertemuan selama tiga hari itu berhasil mengasah mental Jundi. Nyatanya sikap menyebalkan pak Yan mampu meremas pikiran, menekan setiap saraf, dan memijit-mijit kepala Jundi. Biar begitu Jundi tidak mampu mengabaikan pria tua yang kesepian itu. Dia rela membagikan kontak pada pak Yan.

Katanya buat jaga-jaga kalau Jundi tidak bisa datang ke rumahnya. Atau biar Jundi tidak melanggar janjinya untuk menemui pak Yan. Pria tua itu tersenyum sambil memandangi ponselnya. Senyum yang terlihat mendongkolkan di mata Jundi.

"Pria aneh." Jundi bergumam di depan pintu. "Aku pulang dulu, Tuan Yan." Jundi bisa melihat pak Yan yang mengibaskan tangan tidak peduli. Pria tua itu masih memandangi ponselnya.

"Akhirnya aku punya seseorang untuk di hubungi." Bangga Pak Yan.

Suara pak Yan masih terdengar setelah Jundi menutup pintu. Helaan napas keluar dari rongga hidungnya. Kata-kata seperti itulah yang membuat Jundi tidak tega mengacuhkan pak Yan. Karena dia tahu rasanya kesepian, dia tahu rasanya tidak punya siapa-siapa. Kadang terjebak di keadaan yang sama membuat empati tumbuh lebih cepat.

.   .   .  ✨  .   .   .


Kehadiran Jidan menjadi tanda berakhirnya tugas Jundi sebagai pengantar pesanan. Dia sudah kembali ke dapur membantu bibi. Menyiapkan makanan untuk di salurkan pada Jay maupun Jidan. Mereka bekerja dengan giat. Melayani setiap pengunjung yang datang.

Hari minggu restoran terlihat lebih ramai. Jundi dan kawan-kawan yang sedang tidak ada jadwal sekolah, diminta datang lebih awal ke restoran. Mereka datang pukul 10 pagi dan akan istirahat pada jam 2 siang.

"Anak-anak tolong kemari!" teriak bibi dari meja depan. Saat ini restoran sedang istirahat. Jadi tidak ada pengunjung di sana.

Jay menepuk pundak Jidan, mengajaknya ke meja depan. Jundi yang sedang di dalam toilet memutar bola matanya malas. "Astaga apa lagi, baru juga masuk." Dia mengurungkan niatnya untuk bersemedi, lalu pergi menuju suara bibi.

Mereka sudah berkumpul di meja depan, bibi berdiri di depan ketiga pemuda yang duduk di sofa merah.

"Dengar anak-anak, kita mendapat pesanan untuk besok senin. Stok di dapur hanya cukup untuk penjualan hari ini. Jadi aku mau meminta kalian pergi ke pasar, membeli semua keperluan untuk pesanan besok. Ini daftar belanjanya." bibi menujuk ponselnya.

AfterthoughtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang