"Tidak masalah jika hidup berubah lebih cepat dari pada pergerakan kora-kora. Toh di situ letak serunya. Kalau hidup gitu-gitu aja di mana letak seninya?"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Siang yang harusnya ceria berubah menjadi buntung. Semangat Jundi menguap begitu saja. Niat ingin bersenang-senang malah menjadi dongkol di hati.
Selain telepon dadakan dari pak Yan. Siang ini, di bawah atap rumah-rumahan berbentuk jamur. Jundi bertemu dengan Naomi dan teman-temannya. Ada empat gadis di dekat Naomi. Mereka itu termasuk klub anak populer.
"Kita pindah tempat aja. Di sini panas." Jundi hendak meninggalkan tempat itu.
"Hanya tempat ini yang paling dekat dengan kora-kora. Kita tidak bisa membuang waktu untuk mencari tempat lain." Jay tetap duduk sambil memandangi wahana berbentuk kapal di depannya.
Jundi melirik Jidan yang malah balas menatapnya. Pemuda dengan wajah imut itu tidak menggubris Jundi. Dia ikut duduk santai di samping Jay.
"Sial!" Jundi mengumpat karena teman-temannya.
"Tadi kau sendiri yang bilang ingin naik kora-kora." Jidan membuka tutup botol lalu minum seperti orang kehausan. Padahal dia telah menghabiskan banyak minuman.
"Panas banget ya?" tanya Jay tanpa berpaling dari pemandangan langit.
"Iya, kayaknya mau hujan." Jidan mengibaskan kaosnya.
"Bukan itu." Jay menyenggol lengan Jidan. Dia menatap Jundi yang akhirnya berbalik dan duduk di depan mereka. Wajahnya cemberut.
Tanpa permisi, Jundi mengambil alih botol minum di meja—itu milik Jidan.
"Hey! Sembarangan aja." tegur Jidan sembari merebut kembali botolnya.
Jundi menegak isi botol sampai habis. "Wuah, Panas tau!" Dia mengelap air yang menetes di dagunya.
"Ya tapi tidak usah ambil minuman orang juga!" seru Jidan melihat minumanya habis.
Mereka berdua mengumpat tanpa suara. Kaki Jundi menginjak sepatu Jidan. Begitu sebaliknya, Jidan terpancing dan menendang tulang kering Jundi.
"Woy! Sakit." teriak Jundi kelewat keras. Membuat semua orang yang sedang di sekitarnya melirik Jundi.
Di barisan meja lain. Tepatnya pada bangku yang di tempati Naomi dan teman-temannya. Naomi melihat Jundi, dia membuang napas pelan. "Dia tidak berubah." Tanganya terlipat di depan dada.
Dari kejauhan, Jay memperhatikan Naomi. Sepertinya Naomi berbohong soal berpacaran dengan Yogi. Gadis itu juga terlihat menyukai Jundi. Pandangan Jay beralih pada Jundi dan Jidan yang masih bertengkar.
"Hey, Jundi." Jay mengetuk meja untuk mengambil atensi kedua temannya yang sudah seperti anjing dan kucing.
"Heh, aku ini kakak kelasmu. Panggil dengan sebutan Kak." protes Jundi yang sudah berhenti adu tendang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Afterthought
Teen FictionDunia terlalu sempit untuk lari dari masalah. Daripada dihindari dan membuat lelah, lebih baik mengadapi apapun resikonya. Namun, tidak semua paham akan makna sebuah masalah. Seperti halnya kisah seorang Pemuda bernama Jundi- yang menyalahkan ayahny...