7

31 13 12
                                    

"Menjadi buruk bukanlah sebuah pilihan. Namun, tekanan yang datang bertubi-tubi membuat kita menjadi keras dengan sendirinya."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

















.  .  .  ✨  .  .  .

Malam ini Jundi sudah menyetok kesabaran untuk menemui pak Yan. Dia juga sudah berjaga-jaga kalau nanti pulang terlambat. Kemarin saja dia harus duduk mendengar ocehan pria tua itu sampai larut. Untung saja paginya dia bisa bangun dan tidak terlambat ke sekolah.

"Permisi." Jundi mengetuk pintu rumah pak Yan.

Tak perlu menunggu lama. Pak Yan segera membuka pintu, lalu dengan nada bicara yang menyebalkan seperti biasa. Dia berkata, "Cepat masuk. Kau lama sekali."

Jundi mendengus, belum apa-apa stok kesabarannya sudah terkuras. Dia memandang punggung pak Yan, yang tengah berjalan menuju ruang makan. Di sana ada meja kayu dengan diameter 1,5 metter. Cukup besar untuk seseorang yang tinggal sendirian.

Bola mata Jundi berkeliling melihat dinding rumah. Lama-lama Jundi mulai terbiasa dengan lukisan yang membuat sesak pemandangan.

"Anda langsung membayar, kan?" Hati kecil Jundi masih berharap dia bisa pulang dengan cepat.

Pak Yan melirik Jundi. Lalu tangannya menunjuk dua cangkir berisi teh dan kopi di meja makan. "Kau tidak mau minum dulu? Aku sudah membuatkannya."

Lagi-lagi Jundi menghela napas. "Anda tidak menabur racun di dalamnya, kan?"

"Itu akan aku lakukan kalau sudah bosan melihatmu." pak Yan menarik kursi. "Duduk, kita makan bersama."

Dengan terpaksa Jundi menuruti kemauan pak Yan. Sebelum menyentuh ayam goreng, Jundi mencuci tangannya di wastafel yang terletak di dalam kamar mandi. Ketika air mengalir di sela-sela tangannya. Dia mendengar suara pak Yan. Pria tua itu seperti memanggil seseorang.

"Anda memanggil saya tuan?" teriak Jundi yang ingin meyakinkan diri.

Karena tidak mendapat jawaban, akhirnya dia segera ke ruang makan. Dan mendapati pak Yan yang sedang menutup telinganya—seperti orang ketakutan.

"Berhenti bermain di sana, kalian membuatku terganggu. Jangan berlarian di tangga!"

Degup jantung Jundi berdetak lebih kencang. Matanya mengawasi gerak-gerik pak Yan yang seperti berbicara dengan sosok di atas tangga. Padahal di sana tidak ada apa-apa.

AfterthoughtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang