1

55 18 39
                                    


.

.

.

.

.

.

.

"Mereka pikir, Sebuah takdir terbentuk melalui ketidak sengajaan. Padahal kalau kamu tahu, tidak ada peristiwa yang disebut kebetulan."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

14 februari 2020

Suara tangisan memenuhi aula, beberapa siswa bahkan sesenggukan tak tahan dengan suasana haru yang menyelimuti ruangan. Dua ratus pasang mata terpejam sambil melekatkan tangan kanan di dada kiri.

Seorang motivator berdiri di atas mimbar, berseru tentang masa depan. Pada siswa kelas 12 yang akan mengikuti ujian.

"Wahai adik-adik, Sebentar lagi kalian akan lulus dari tempat ini. Kalian akan segera meninggalkan teman-teman yang sudah bersama selama 3 tahun. Dunia luar sudah siap menyambut kalian, tidak ada lagi bersenang-senang," kata pria itu dengan intonasi dramatis.

"Dunia luar sangatlah berbeda. Jika saat ini masih bersantai, lantas bagaimana dengan masa depan? Bagaimana dengan perjuangan orang tua yang bertahan demi anaknya, apakah kalian akan membalasnya dengan kekecewaan?"

Pertanyaan pria itu disambut tangis yang pecah dari siswa. Mereka merenungi tindakannya selama ini, tentang mereka yang belum bisa membahagiakan orang tua. Atau mereka menangis karena putus asa dengan keadaan.

Dari sekian ratus siswa di aula, tampak seorang pemuda yang terlihat bosan. Dia adalah Jundi—pemuda tampan yang naif. Saking naifnya, dia hanya suka bersenang-senang dengan temannya. Banyak yang mengagumi Jundi akan senyum indahnya, tapi sepertinya hal itu tidak berlaku sekarang.

Bagi Jundi, acara renungan seperti ini bisa membunuhnya perlahan. Wajahnya sudah berkerut dari awal acara. Sangat membosankan mendengar kalimat yang terlontar dari pria—yang menyebut dirinya motivator. Berkali-kali Jundi menatap arlojinya lalu berganti ke pemandangan sekitar.

Ditatapnya ratusan siswa yang tersedu-sedu.

"Dasar lebay, apa yang perlu ditangisi?"
Jundi membuang napasnya pelan.

AfterthoughtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang