11. Egois

66 34 0
                                    

Pintu kayu berwarna coklat itu seakan sedang mengejekku. Pintu basecamp vasilissa yang tertutup rapat, entah sejak kapan, menjadi pemandangan terakhir yang ingin kulihat.

Mereka benar-benar tidak mau menerimaku lagi.

Derap langkah kaki mulai terdengar. Pelan, tetapi pasti. Tanpa perlu berpikir lebih panjang pun aku tahu siapa yang bergerak menghampiriku.

"Sena," panggil Azza.

Anggota WATOFA. Mereka jelas melihat pertikaian tadi. Apalagi volume suaraku dan Kanaya tidak bisa dibilang kecil.

"Ayo balik," ajak Nexa yang ikut menghampiriku. Tatapannya terlihat khawatir, namun dia tidak berkata apa pun.

Azza dan Nexa akhirnya memilih untuk menuntunku menuju basecamp WATOFA. Sebenarnya, aku bisa jalan sendiri. Akan tetapi sepertinya mereka mengerti bahwa keadaanku masih shock.

Sesampainya di ruang—bawah tanah—tengah, aku dibiarkan duduk dengan segelas teh hangat di tangan kananku. Sementara Azza, Nexa dan Sevira—yang ternyata sudah menunggu daritadi—duduk mengelilingiku.

"Tadi Sevira yang pertama kali tahu soal lo ribut sama Kanaya," mulai Azza bercerita. "Dia niatnya mau buang sampah, tapi malah nemu keributan."

Sevira mengangguk, membenarkan ucapan Azza.

"Lo..., kenapa?" ragu Azza.

"Widihh, ada apaan, nih?" sahut seseorang dari arah tangga, membuat seluruh pandangan mengarah kepadanya.

"Ganggu aja lo, Fik. Nggak lihat apa temen lo yang satu ini lagi galau?" balas Nexa, memutar bola matanya malas pada ketua geng WATOFA itu.

"Gua ketinggalan apaan?" tanyanya sembari mendekat.

Perhatian kembali tertuju padaku. Aku sadar, sangat sadar bahwa mereka berempat penasaran apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi...,

"Kalau lo nggak mau cerita, gapapa," sergah Azza, menyadari keraguanku.

"Nggak," balasku cepat. Mark bilang bahwa anggota WATOFA pasti berusaha membantuku. Itu berarti mereka tidak akan menyudutkanku.

Dan aku mulai bercerita, dari kejadian awal sampai akhir. Tidak melewatkan detail sedikit pun. Bahkan penjelasanku pada Mark tidak sejelas ini.

Tangan Azza terjulur untuk mengelus punggungku pelan; cara terbaik demi menguatkan seseorang, dan itu berguna. Seketika aku merasa aman.

"Kalau gue boleh komentar, Sen, tindakan lo buat nanya langsung ke Kanaya gitu salah. Lo tahu sendiri dia sayang banget sama vasilissa," ujar Azza berterus-terang.

Benar. Kanaya telah menjadi anggota vasilissa lebih lama daripada ia mengenalku. Ia juga kerap membela vasilissa dalam segala perlombaan balap. Tentu saja ia akan memihak teman-temannya yang telah dihina oleh Herin.

Dan tentu, dengan senang hati ia akan lebih memihak vasilissa, lalu menjauhiku.

"Bang Mahesa?" celetuk Fiko kelewat santai. "Nggak heran, dia emang bucinnya Kanaya. Udah pasti dia milih buat ngusir lo."

Oh, begitu. Aku baru tahu kalau Kanaya dan kak Mahesa memiliki suatu hubungan.

"Tapi tenang aja, WATOFA bakal selalu terbuka buat lo," lanjut Fiko serius.

"Bener," imbuh Sevira. "Kita bakal berusaha buat bantu lo, kok, Sen," jelasnya.

Aku tersenyum penuh haru. Ternyata Mark benar, WATOFA akan berusaha membantuku. "Makasih."

"Saaans!" balas Nexa sambil menyengir. "Udah dong, lo jangan galau mulu. Jadi makin jelek, anjir," godanya sembari menepuk—atau memukul—pundakku keras.

netral.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang