15. Bola Kertas

48 13 3
                                    

Dengan total kelas per angkatan yang berjumlah 10, seharusnya aku tidak menganggap bahwa perkataan guru BK tadi benar adanya.

Yang benar saja, 10 dikali 36 siswa per kelasnya. Lalu jumlah buku paket yang sudah pasti tidak mungkin hanya satu. Satu mapel memiliki satu buku paket dan terdapat beberapa mapel... aaku sudah gila duluan ketika membayangkannya.

Nana bahkan tadi terlihat sangat terkejut ketika aku memberitahunya tentang hukuman yang kudapat.

"Membereskan buku paket satu angkatan?" tanyanya. "Itu adalah hukuman yang sangat memberatkan, Sena."

"Iya, aku tahu."

Nana menatapku yang berdiri di depan pintu kelas dengan santai, mengabaikan tatapan siswa lain yang terganggu. "Baiklah, ini kisi-kisi yang akan kuberikan," ucapnya yang langsung membuatku terlonjak kegirangan.

Kisi-kisi baru, nilai ujian yang akan meningkat, yes! Tidak akan ada penghinaan lebih lanjut dari guru BK menyebalkan itu.

Setelah mengucapkan beberapa kalimat basa-basi dan terima kasih, akhirnya Nana pergi sementara aku langsung buru-buru menempati tempat duduk karena tatapan beberapa siswi sudah sangat sinis.

Bukan berarti aku takut, ya! Aku hanya malas saja mencari masalah baru. Bahkan masalah tentang Kanaya dan Herin menemukan jalan buntu. Aku tidak dapat menemukan titik terang, tidak sebelum aku dapat berbicara Mark.

Anak itu, kenapa betah sekali di rumah sakit, sih?

Ah sudahlah, lebih baik aku kembali pada kenyataan. Kenyataan yang begitu menyebalkan, di mana aku harus membereskan buku-buku ini sendirian. Entah ke mana perginya ibu-ibu penjaga perpustakaan, lingkungan sekitar tampak lenggang.

Mulutku terkulum tipis, menatap tumpukan buku yang tersusun secara berantakan di tengah jalan. Seakan-akan sengaja ditunjukkan padaku. Di sisi kirinya terdapat kertas berisi tulisan, selamat menikmati hukuman.

Guru itu... aku tak habis pikir. Benar-benar membenciku, kah?

Mengeluh tidak akan menghasilkan apa pun, benar. Maka dari itu aku mulai bergerak mengambil beberapa tumpukan, lalu menjejerkan sesuai mata pelajarannya. Mengambil beberapa buku lagi, dan mengulangi kedua kegiatan itu berkali-kali dalam jangka waktu yang lama.

Semangat!

***

Membereskan buku-buku ini memakan waktu yang lebih lama dari perkiraanku. Langit mulai menggelap namun masih banyak tumpukan yang belum kuselesaikan.

Sejauh ini, aku baru menyelesaikan tumpukan buku geografi, kimia, PPKn, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. Itu bahkan belum mencapai setengahnya, keluhku.

Penjaga perpus itu pasti sangat hebat karena sanggup mengurus buku-buku sebanyak ini dalam pekerjaan sehari-hari. Aku mulai stress karena tumpukan yang tiada akhir. Botol minumku mulai menipis isi cairannya dan kantin sudah jelas telah tutup.

Hari yang begitu indah, ucapku dalam hati dengan senyum palsu tambahan.

Apa aku panggil saja beberapa anggota WATOFA untuk membantuku? Ah tidak-tidak. Aku tidak boleh memanfaatkan orang untuk mengerjakan sesuatu yang merupakan tanggungjawabku.

Aku tetap harus mengerjakannya sendiri.

Namun sampai kapan? pikiranku menambahkan.

Benar juga... sampai kapan aku akan di sini? Untuk membereskan seluruh tumpukan buku yang berantakan ini—bahkan dalam satu tumpukan terdapat buku geografi, fisika, dan bahasa Indonesia secara acak—membutuhkan waktu sampai malam.

netral.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang