6. Mark's POV : Rumah Sakit

107 24 2
                                    

Brak!

"mANA SI MARK?"

Aku tersentak pelan ketika mendengar pertanyaan dengan nada yang tak bisa dibilang kecil itu.

"Yaelah," gumamku sembari membuka mata pelan, dan akhirnya menemukan penampakan Sena yang berada di depan pintu dengan raut wajah cemas.

"Lo nggak apa-apa?" tanyanya menghampiriku.

"Sans, nggak sakit kok." Aku mencoba bangkit dari posisi berbaring, akan tetapi kakiku terasa perih ketika digerakkan.

Aeparah inikah dampak kecelakaanku tadi?

"Gausah dipaksa buat gerak, kata dokter tadi kaki lo terkilir." Aku kembali mendengar suara perempuan, kali ini lebih serak.

Oh ya, Azzahra. Sudah jelas ia akan menungguku sampai sadar dan memilih untuk bolos. Bagus sekali. Aku dijaga dengan dua perempuan sehat sedangkan aku, lelaki sejati, terbaring lemas di ranjang rumah sakit.

"Jam berapa sekarang?" tanyaku ketika tak melihat keberadaan jam di sekitar.

"Jam lima," jawab Azza santai, tetap fokus menatap ponselnya.

Aku ber-oh riya, lalu mengalihkan pandangan ke arah Sena yang sekarang telah duduk di samping ranjang.

"Jangan berlebihan, gue masih hidup," cetusku.

"Yayaya, nggak ada yang tahu nasib lo bakal gimana kalau misalkan bantuan telat dateng," balas Sena sinis.

"Lo beneran tega banget, ya, gila, sama sepupu lo. Padahal abis kecelakaan gini."

Sena langsung menampilkan raut wajah kasian. "Ututu, kasian, deh, yang abis kecelakaan," ucapnya dengan nada dibuat-buat.

Aku mendengkus. "ngapain dateng?"

"Menurut lo apalagi? Ya jenguk lo, lah! Harusnya gue tadi pulang sama lo, tapi lo-nya malah nggak dateng. Untung azza ngasih tau kabar lo," jawabnya cerewet.

Cewek ini benar-benar menyebalkan. bahkan di saat aku sedang sakit seperti ini, ia tetap saja ngebacot juga mengomel. Padahal ini bukan keinginanku juga untuk kecelakaan.

"Kalau mau ngomel mendingan pulang aja," balasku mengalihkan pandangan ke arah jendela yang terlihat lebih menarik daripada harus menaruh perhatian pada Sena.

"Yah, nggak gitu juga." Nada suara sena melembut. "Kenapa bisa sampe kayak gini?" tanyanya.

Mulutku bergerak menjawab, namun urung karena aku tak tahu harus berkata apa. Menjawab dengan, gue diserempet musuh? Memangnya aku dapat memastikan bahwa itu benar-benar musuhku?

Atau menjawab, nggak tahu gue juga? Pasti aku akan langsung diserbu dengan omelan oleh Sena, lagi. Menyebalkan, tapi setidaknya aku tahu kalau itu karena Sena menyayangiku.

"Jalanan licin," jawabku berbohong. Memilih jawaban aman yang tidak menyudutkan siapa pun, atau menempatkan kesalahan padaku juga.

"Kebiasaan," cibir Sena. "Udah gue bilang sekali-kali lewat jalan biasa aja juga gapapa. Tau sendiri kalau jalan pintas biasanya nggak aman," lanjutnya.

"Iya-iya," balasku dengan nada malas. "Gue juga nggak tahu kalau bakal begini." Ya, aku benar-benar tak mengira bahwa akan ada yang mengikutiku dari belakang, lalu menyerempetku ketika ada kesempatan.

"Jangan diulangin lagi. Biaya ojek online mahal," ucap Sena bercanda.

Aku tersenyum remeh. "Gue emang cuman supir lo doang, ya?"

"Iya dong," Sena menyeringai, "sebuah kehormatan lo bisa jadi supir pribadi gue. cuman lo, loh, yang bisa."

"Hah, bukannya dulu- asdfghjl." Sialan! Mulutku dibekap secara kasar oleh Sena! Dasar gadis barbar, aku heran mengapa ia bisa mendapat image sebagai anak baik-baik di sekolahnya.

netral.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang