"Gila, tuh, orang," tukasku setelah pintu kamar ditutup oleh Zaldi yang masuk beberapa detik kemudian. Tanganku mengepal kuat, siap memukul siapapun yang mencari masalah. Tongkat pembantu kutaruh di samping kasur, membiarkannya tergeletak tak berdaya.
"Lagian lo kenapa, sih, pake acara rahasia-rahasiaan segala? Dia, 'kan, sepupu lo," balas Zaldi penasaran.
Aku berdecak pelan. Tentu saja karena tak mau membuat gadis itu khawatir terhadapku. Selain karena malas mendengar omelannya, aku kira ini masalah WATOFA yang tak perlu ia ikut campuri. Lagipula, mana kutahu kalau ternyata pelakunya sama dengan orang yang telah membuat hidup Sena menjadi tidak tenang akhir-akhir ini? Afniar itu, mentang-mentang cerdas jadi seenaknya saja.
Suasana hening melanda kamarku untuk beberapa saat. Zaldi, yang tahu bahwa aku tak berniat menjawab pun mengajukan pertanyaan yang lain. "Menurut lo, pelakunya beneran sama?"
"Gue nggak tahu."
Hening kembali.
"Tapi mau gimana pun juga, gue nggak terima sama tingkah Afniar," sambungku.
Zaldi mengangguk paham. "Ya, ya, ya. Kita udah bahas soal ini beberapa hari yang lalu dan kita sepakat buat diem. Kecuali kalau lo sendiri yang mau ngasih tahu."
"Tumben pinter lo."
"Bangsat."
Aku terkekeh pelan sebelum akhirnya larut pada pemikiran tentang peristiwa hari ini. Pelakunya sama? Bagaimana bisa Afniar tiba-tiba menyimpulkan hal sebesar itu?
Masalah Sena yang dialaminya saja sudah sangat ribut, dan kini ia menambahkannya dengan masalahku? Orang cerdas itu kenapa pemikirannya aneh-aneh, sih?
Ting!
"Ponsel lo bunyi, tuh," ucap Zaldi, tahu bahwa aku mengira itu notifikasi dari ponselnya. Akhir-akhir ini aku memang jarang membuka ponsel, selain karena tidak ada yang mengirimiku pesan, aku juga malas untuk berinteraksi.
Mungkin ini yang dimaksud oleh Sena dengan sebutan me time.
Unknown
| Nice to meet U
| :)Badanku seketika menegang. Pesan yang terakhir dikirimkan ini terlihat tak asing. Aku mencoba mengabaikan isi pesan pertama yang menurutku tak jelas.
(Aku bertemu banyak orang dan mungkin saja ia salah satu fans-ku).
Pesan yang terakhir itu. Aku buru-buru mengambil bola kertas yang tadi Sena berikan, melihatnya baik-baik.
Itu dia.
Tanda pengirimnya sama.
:)
"Kenapa muka lo?" sahut Zaldi yang kini memperhatikanku.
Aku kembali berdecak, terlalu malas untuk memberi penjelasan. Pada akhirnya aku memberikan ponsel serta bola kertas itu padanya.
"Apaan, nih, maksudnya?" Zaldi menatapku bingung. Orang ini benar-benar bodoh. Padahal sudah jelas-jelas terdapat persamaan.
"Lihat tanda pengirimnya."
Zaldi mengangguk, lalu membulatkan matanya terkejut. "Maksud lo ini pelakunya?"
"Ya iyalah, siapa lagi?" dengkusku kesal.
"Mau lo apain?"
"Mana gue tahu, orangnya aja nggak kenal."
"Lacak, lah, goblok!" Sialan, bisa-bisanya berkata seperti itu ketika dirinya saja perlu waktu lebih untuk memahami maksudku tadi.
"Gimana caranya, anjing?" sungutku. "Kita aja kerjaannya bolos pelajaran Informatika."
KAMU SEDANG MEMBACA
netral.
Teen Fiction[ DISCONTINUED ] Namaku Mahardika Senala, sering dipanggil sang netral. Dan kurasa, sampai kejadian buruk itu terjadi, netral tidak lagi menjadi panggilanku.