"Halo, Kay?" Aku segera mengangkat panggilan setiba di luar ruangan tidur Mark. Berbicara dengan volume sedang agar tidak menggangu pasien lain.
'Di mana lo?'
"Rumah sakit, kenapa?"
'Oh iya, si Mark kecelakaan, ya?' Aku berdeham mengiyakan.
'Titip salam buat dia, semoga cepet sembuh.'
"Iya nanti gue sampein. Sekarang, cepet kasih tahu lo ada maksud apa nelfon gue?" tanyaku tak sabaran, tahu betul bahwa ucapan Kanaya tadi hanya basa-basi biasa.
'Hehe, tahu banget lo.'
Sejenak aku dapat membayangkan ekspresi Kanaya di ujung telpon sana yang pasti sedang menyengir seperti orang aneh. Bercanda.
'Bagi nomer WA Hana, dong.'
Hah? Hana? Aku tak salah dengar, nih? "Mau ngapain emang?" tanyaku kepo.
Kanaya berdecak, 'Jangan banyak nanya.'
"Gue harus mastiin niat lo, tuh, baik. Siapa tahu lo ternyata mau macem-macem sama Hana, 'kan? Bahaya, nanti gue yang disalahin," elakku jago. Yah, masalah elak-mengelak juga memberi alasan adalah keahlianku.
'Si Hana kemaren bilang mau minjem salah satu buku Harry Potter gue,' jawabnya malas, sementara aku mengangguk dengan sia-sia karena Kanaya tidak akan bisa melihatnya.
"Oh, gitu?" balasku memastikan. "Mendingan besok kita ngumpul lagi aja, gimana? Ide bagus, 'kan?"
'Wow,' komentarnya. 'Gas, lah.'
"Sip, lo bilangin Risa juga, ya. Nanti biar gue yang ajakin Hana sama Herin."
'Jam berapa besok? Di mana?'
"Jam pulang sekolah, gue yakin besok nggak ada yang les, kok. Di kafe yang kemaren aja," jawabku memutuskan secara sepihak.
'Oke, bakal gue bilangin ke Risa. Bye.'
"Bye." Dan panggilan pun diputus.
Aku mendesah lega lalu kembali memasuki ruangan tidur Mark, berbincang sebentar dan lanjut bermain ponsel.
Can't wait for tomorrow!
***
"Herin!" panggilku yang langsung merangkulnya ramah, menatapnya dengan penuh senyuman.
"Sibuk?" tanyaku lagi.
"Tidak, kenapa memangnya?" Herin balik bertanya seraya mencoba menyingkirkan tanganku dari lehernya karena ya, ia sensitif di area itu.
"Ngumpul, yuk? Bareng teman-temanku yang kemarin," jawabku antusias.
"Risa dan Kanaya?"
Aku mengangguk. "Mau? Mauuu lah," paksaku.
"Tiba-tiba sekali? Kenapa tidak mengabariku dari kemarin?" tanya Herin ragu.
"Enggak dadakan, kok. Tuh buktinya Hana sudah tahu," tunjukku pada Hana yang berjalan menuju ke arah kami dengan santai.
"Aku sudah bilang pada supir, dan diizinkan. Jadi- kita berangkat bersama Herin, 'kan?" tanya Hana setibanya ia di hadapan kami—yang tentunya telah berhenti berjalan.
"Bersamaku?" Herin menaikkan salah satu alisnya, menatapku penuh tanda tanya juga meminta penjelasan sebagai pertanggungjawaban.
"Hehe, memangnya tidak boleh? Kasian supirmu kalau harus pulang dengan sia-sia. Kalau Hana, 'kan, masih ada adiknya yang harus dijemput," jelasku tanpa merasa bersalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
netral.
Teen Fiction[ DISCONTINUED ] Namaku Mahardika Senala, sering dipanggil sang netral. Dan kurasa, sampai kejadian buruk itu terjadi, netral tidak lagi menjadi panggilanku.