16. Salah

41 13 0
                                    

Aku memasuki basecamp dengan perasaan dongkol. Meninggalkan Kak Ino yang sepertinya ingin mengucapkan selamat tinggal. Bodo amat, lah. Emosi terlanjur menggerogoti tubuhku.

Rasanya tidak enak sekali. Ketika kamu merasa sangat emosi, namun tidak ada tempat untuk dijadikan pelampiasan.

Bola kertas tadi jawabannya. Selama berhari-hari aku merasa orang paling bodoh karena tak dapat menemukan jalan keluar dari masalah Herin dan Kanaya. Sekarang, dengan rasa angkuh yang paling tinggi, ia memukul keningku menggunakan bola kertas itu.

Itu berarti dia meremehkanku, ya?

Dia mengambil langkah yang salah, namun tak apa, itu adalah hal yang bagus untukku. Takkan kubiarkan ia lolos lagi kali ini.

"Pulang telat lo?"

Aku langsung menoleh, hingga timbul suara krek. Sial, ini pasti karena aku yang jarang olahraga.

"Lah, Mark?!" pekikku terkejut. Lihat siapa yang tadi memanggilku, Mark Santoso. Yang seharusnya sedang berada di rumah sakit, kini malah sedang menatapku jenaka.

"Lo kapan keluar rumah sakit, anjir?" Aku buru-buru menghampiri Mark, memeriksa keadaannya sekarang. Hm, terlihat bagus. Bahkan dapat kurasakan otot-otot yang jadi di balik tubuhnya. Satu-satunya hal yang berbeda hanya tongkat yang terlihat akan mengisi hari-hari Mark untuk waktu yang lama.

Mataku mendadak memicing, menyadari kehadiran sebuah satu plester di salah satu pipinya. Anak ini- baru keluar dari rumah sakit saja sudah ribut?

"Berantem sama siapa lo?" Pertanyaan itu meluncur dengan mulus dari mulutku, membuat Mark terkejut.

Ia langsung memegang plester yang menjadi perhatianku, bergerak aneh dan mengatakan hal tidak masuk akal. "Gue jatoh dari kasur rumah sakit."

"Lo pikir gue percaya?"

"Udahlah, mendingan lo jawab pertanyaan gue yang tadi," putusnya sepihak.

Diam-diam dalam hati aku mengumpatinya pelan, ingin memaksa Mark untuk mengatakan yang sebenarnya pun segan. Walaupun sikapku kadang kasar padanya, aku tetap sadar diri statusnya yang menjabat sebagai abang, sebenarnya abang sepupu, sih.

Tapi ya sudahlah, menurutku itu sama saja.

"Gue dihukum BK."

Mark langsung tertawa kencang. "Lo? Dihukum BK?" Ia menatapku tak percaya, masih dengan tawa yang meluncur.

Sial, reaksinya itu mengingatkanku pada Kak Ino. Orang itu sekarang mulai berani mengusik pikiranku, batinku kesal.

"Ya udah, sih. Namanya juga remaja," ucapku memberi alasan.

"Gila-gila, nggak gue sangka ternyata bakal tiba waktunya lo kena hukum BK." Mark berjalan menuju ruang tengah, dan menduduki diri di sofa tempat biasa anggota WATOFA bersantai. "Lo ngapain sampe dihukum gitu?"

"Dateng telat."

Mark kembali tertawa. "Jadi tadi pagi lo bangun telat? Kenapa nggak bangunin gue, sih?"

Hah? Apa? Membangunkannya? Itu berarti—
"Lo kapan pulang dari rumah sakit?"

"Tadi malem," jawabnya santai.

Mulutku membulat, merasa tak percaya dengan kenyataan yang kudengar barusan. Jadi- astaga. "Lo kenapa diem-diem aja padahal udah pulang dari rumah sakit tadi malem????!!!" tanyaku, menuntut jawaban yang jelas.

"Nggak sempet aja, lagian pas gue pulang, lo udah tidur."

"Anjing lo, Mark. Tadi pagi gue telat dateng karena harus pesen ojol dulu, tahu? Ah, parah lo. Kalau gue tahu lo udah pulang dari rumah sakit, gue bakal bangunin lo!"

netral.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang