2. Sepupu Kesayangan

208 37 6
                                    

Angin berhembus kencang di sekitarku. Menyibak rambut dengan halus, dan membuat mata merasa pedih karena debu yang memaksa masuk. Orang-orang langsung mengerumuni kedua pengendara motor yang baru saja memasuki garis finish. Hasilnya mereka berdua seri, Kanaya dan Firly.

Aku tersenyum, kedua gadis ini memang sama jagonya. Pertandingan seperti ini menjadi sengit karena dilakukan dengan lawan yang sebanding, namun nyatanya kemampuan mereka saat ini memang masih setara. Entah siapa di masa depan yang akan lebih menonjol.

"Mau balik?" Aku menoleh, dan mendapati kehadiran Mark. "Kuy lah. Udah malem juga," jawabku, sementara Mark bergerak menuju parkiran dan membawa kembali motornya tepat di hadapanku.

"Cepet naik." Tanpa aba-aba aku langsung menaiki motornya, dan tanpa aba-aba juga, Mark langsung membawa motornya mengebut.

Plak, aku memukul kepalanya pelan. "Dasar nggak punya otak! Kasih aba-aba dulu, dong! Gue lagi nggak pake helm, kalau jatuh nyawa gue langsung melayang!"

Mark malah terkekeh. "How's life, La?" Aku mendesis, tak suka ketika mendengar panggilan Nala keluar.

"Iya-iya," sergah Mark yang mengerti desisanku. "Katanya nggak gamon, tapi kelakuannya kayak orang gagal move-on," Mark mendumel.

"Mark!"

"Iyaa, ah males banget sama anak baperan." Mark memilih mengalah. Bagus, karena aku takkan mau mengalah dengan mudah.

"Gimana? Enak hidup bermuka dua?"

"Perkataan lo menyinggung gue banget," komentarku. "Lagian gue bukan orang yang berlagak jadi anak baik di depan tapi malah liar di belakang, lo tahu itu."

"Iya. Tapi apa lo nggak bosen menjalani hidup berlawanan gitu?"

"Heh, sepupu!" seruku tak suka. "Kita udah bahas ini berkali-kali, gue juga nggak keberatan buat jadi pihak netral. Kalau gue bisa jadi keduanya, kenapa enggak?"

"Tapi nggak selamanya lo bisa jadi netral, Sen," balas Mark.

"Ya seenggaknya saat ini gue masih bisa jadi netral, 'kan? Jangan aneh-aneh deh, lo! Kayak bakal ada apaan aja di masa depan," gerutuku tak suka.

Mark ini, sebagai sepupu dekat bukannya mencoba mengerti keadaanku malah mengatur-atur. Idih, dia pikir dia siapa? Kalau dipikir-pikir lagi memang menyebalkan memiliki sepupu seperti Mark.

Oh iya, apa aku sudah memberi tahu bahwa Mark adalah sepupuku? Kalau belum, maka akan kuberi tahu, dia ini sepupuku. Satu-satunya sepupu dari pihak keluarga mama, yang lumayan dekat denganku.

Lihat saja interaksi kami tadi. Seperti teman, 'kan? Tak banyak orang yang dapat menyangka bahwa kami sepupuan, karena memang wajah kami tak ada mirip-miripnya.

Wajah Mark lebih mewarisi gen keluarga papanya. Dengan kulit putih bersinar juga alisnya yang menukik layaknya sayap burung camar membuat perbedaan antara wajah kami terlihat begitu berbeda.

Aku, sih, tak masalah. Tidak mengakui Mark sebagai sepupu kadang-kadang perlu juga di saat-saat tertentu—apalagi ia sering melalukan hal bodoh, dan pastinya aku tak sudi mengakuinya sebagai sepupuku—atau di saat seperti ini juga bisa.

Oh, lihatlah kelakuannya yang bertingkah seperti ayahku. Itu memuakkan, tahu? Padahal umur kami sama, bahkan jarak lahir kami hanya selisih satu minggu lebih satu hari! Tidak seharusnya ia bertingkah berlebihan seperti itu. Mana sempat menyinggungku pula. Haduh, anak itu memang jagonya dalam hal memancing emosi orang lain.

"Gue nanti harus mampir dulu, nggak?" tanya Mark berteriak, karena suaranya yang kalah dengan angin.

"Nggak usah!" balasku ikut teriak. "Cukup denger suara motor lo yang berisik, mama langsung tau kalau gue dianter sama lo!"

netral.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang