Mark & Zaldi,
bestie.***
"Lo lagi, lo lagi," komentarku ketika melihat kedatangan Zaldi di ruangan serba putih ini. Rasanya muak sekali mendapati bahwa orang ini terus-terusan datang menjengukku.
"Si Afniar maksa," bebernya. "Katanya dia mau belajar, sebagai gantinya nanti gue bakal ditraktir dia."
"Harga diri lo rendah banget."
"Ya, kalau dia nawarinnya sepatu adidas keluaran terbaru mana bisa gue tolak?" terang Zaldi dengan nada tengil. Membuatku mendengkus keras karena man- aku juga mau kalau begitu gantinya.
"Ada kabar terbaru apa?" tanyaku.
"Fiko udah dateng ke basecamp Garuda, nggak ada hasil. Bahkan Firly sama Azza sampe ikut dateng ke basecamp itu buat mastiin. Tapi nggak ada yang terlihat mencurigakan, mereka semua nyambut kita kayak biasa aja," jelas Zaldi panjang kali lebar.
"Terus siapa, njir? Beneran nggak ada yang tersisa kalau Garuda bukan pelakunya," heranku.
"Afniar bilang, bisa aja kali ini serangannya dari orang yang nggak kita kenal," terang Zaldi serius.
Orang tidak dikenal? Dia pasti bercanda. Bagaimana bisa orang yang saling tidak mengenal malah menyelakai satu sama lain?
"Bisa aja orang itu kenal sama lo, tapi lo yang nggak kenal sama dia," lanjut Zaldi sembari membaca isi ponsel. "Lo baca napa, njir, isi grup. Banyak yang diskusi tapi lo nyider* mulu."
((*Nyider : sider))
"Lo juga, anjing. Sadar diri," umpatku.
"Seenggaknya gue tahu apa yang mereka bicarain, lo mah boro-boro. Nanya mulu kayak wartawan," cecar Zaldi dengan nada malas.
"Ngertiin, dong. Gue lagi sakit gini."
"Bangsat, malah minta dikasihanin," gerutu Zaldi kasar. Bodoamat, lah.
"Btw, gue kapan bisa keluar, sih? Perasaan kaki gue doang yang sakit, kenapa sampe diinfus gini?" tanyaku heran, karena tak kunjung keluar dari ruangan sumpek ini.
"Sebenernya lo bisa pulang hari ini juga," jujur Zaldi. "Tapi orang tua lo..., ya gitu, dah."
Tatapan tak percaya kuberikan. Orang tuaku, ya..., benar juga. Pantas saja sampai sekarang ini dokter selalu berkata bahwa kondisiku blablabla dan masih harus tinggal di rumah sakit untuk beberapa hari lagi.
Ternyata itu semua karena orang tuaku.
"Mereka aja nggak sempet jenguk anaknya, tapi bisa-bisanya malah nahan gue di sini?" decakku kesal.
"Biasalah," sahut Zaldi, lalu mencomot salah satu apel dari atas meja samping tempat tidurku. "Namanya juga orang tua."
"Jangan sok bijak lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
netral.
Teen Fiction[ DISCONTINUED ] Namaku Mahardika Senala, sering dipanggil sang netral. Dan kurasa, sampai kejadian buruk itu terjadi, netral tidak lagi menjadi panggilanku.