4. Kubiarkan Dia Kehujanan

28.9K 1.9K 77
                                    

Sudah jam lima sore, Akbar masih menanti kedatangan Mas Radit di depan teras. Sudah hampir satu jam dia tidak beranjak. Rasanya kasihan juga jika sampai Mas Radit membatalkan kedatangannya malam ini.

"Nunggunya di dalam aja Nak, sambil nonton televisi," tawarku melihat dia mulai jenuh.

"Nggak Ma, Akbar mau nunggu di sini. Di dalam Akbar kayak ngerasa kepanasan gitu, Ma."

Tersenyum aku mendengar alasan yang keluar dari mulutnya. Meski tanpa dampingan Mas Radit, namun dia sepenuhnya menuruni kecerdikan sang ayah. Ah, andai Mas Radit ikut mengasuhnya bersamaku, pasti ia tumbuh menjadi sosok yang lebih luar biasa dari sekarang.

Astaghfirullah, aku mengelus dada akan andai-andai yang tidak berdalil ini. Lalu memilih duduk di sofa ruang tamu. Entah kenapa hati inipun diam-diam menanti kedatangannya.

*

Tepat pukul enam, saat azan magrib hampir mengumandang. Terdengar deru mobil berhenti di depan pagar. Aku mengangkat tubuh dari kegiatan mengisi laporan ruangan, sambil menyibak sedikit gorden di kamar ini.

Nampak oleh kedua mata, Mas Radit dengan kaos berkerah lengan pendek serta celana jeans turun dari mobil.

Dengan menyandang tas punggung, ia sungguh masih terlihat muda. Padahal usia kami sudah berlalu enam tahun, tapi wajahnya tidak sedikitpun menua.

Ya Allah, kenapa hati ini tidak bisa berhenti mencintainya. Kupalingkan wajah, untuk kemudian kembali menekuni tugas yang harus selesai besok.

Semua keperluan Akbar khusus malam ini, sudah aku serahkan sama Bik Ina. Sudah kuputuskan, aku tidak akan keluar dari kamar walau dengan alasan apapun. Makan malam pun sudah kuminta bantuan Bibik untuk diantar ke dalam kamar.

Hatiku boleh saja masih mencintainya, tapi sampai kapanpun, Mas Radit tidak boleh tahu tentang rasa ini.

*

Malam mulai membentang. Masih di kamar, aku terus mendengar Akbar dan Mas Radit bercanda di ruang televisi. Hati ini mulai kesal, padahal sudah kuberitahu Mas Radit, agar dia tidak berkeliaran di dalam rumah. Langsung menuju kemah. Tapi Mas Radit bandel, dia melanggar perintahku!

Bik Ina harus bertanggung jawab. Aku mengambil gawai untuk kemudian menelpon wanita itu.

[Bik, kenapa Mas Radit masih di ruang keluarga?]

[Nganu, Nyonya. Mas Radit sedang membuat sebuah lukisan.]

[Suruh buat aja di tenda, Bik.]

[Nggih Nyonya, biar Bibik sampaikan.]

Sebenarnya Mas Radit membuat lukisan apa, dahulu saat masih bersamanya, aku paling senang meminta dia melukis tiap kegiatan yang kulakukan. Syukur, keahliannya melukis kini menurun pada Akbar.

Seperti ayahnya, Akbar juga kerap melukis wajahku lalu menempelkan pada dinding kamarnya.

Ah, kenapa aku jadi teringat masa lalu lagi?

Kugelengkan kepala sambil menunggu beberapa menit. Rasa penasaran kembali melanda, tatkala di luar sudah tidak lagi terdengar suara mereka.

Kuputuskan untuk keluar kamar, hanya untuk mengecek posisi Mas Radit. Pelan langkah ini berjalan hingga sampai ruang tengah yang pintunya langsung menuju ke halaman belakang.

Kusibak sedikit gorden hingga nampaklah di mataku Mas Radit dan Akbar sedang asyik membuat api unggun. Entah apa yang berbisik, tiba-tiba kepala Mas Radit menoleh.

Hingga mata kami bertemu sejenak. Aku yang ketangkap basah tengah mengintip begitu merasa malu. Segera saja kubalikkan tubuh untuk kemudian berlari ke kamar.

Istri Yang Kau CeraikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang