6. Kejujuran Almarhum Ibu Mertua

28.5K 2K 53
                                    

POV Bik Ina

Pagi ini saya ditugaskan Mbak Alya mengawasi mantan suaminya. Sebenarnya saya tidak menyukai pekerjaan ini, tapi demi beliau yang teramat saya sayangi, saya bersedia melakukannya.

Sudah lima tahun saya bekerja di rumah majikan saya ini, tepat setelah beliau melahirkan anak pertamanya bernama Akbar. 

Saat itu beliau tinggal di rumah eyangnya di Kota Malang. Yang saya tahu, beliau baru ditalak oleh suami dan diusir oleh ibu mertuanya.

Seharusnya pula, beliau tinggal bersama ibu kandung yang berposisi di Kudus. Tapi kenyataan, di daerah itu pula sudah tersiar kabar bahwa beliau mengandung anak hasil hubungan terlarang.

Saya tahu benar bagaimana kehidupan beliau. Kepahitan serta kepiluan yang beliau rasa. Selama masih mengandung, beliau setiap saat dalam keadaan murung, selalu menanti mantan suaminya datang untuk merujuk. Tapi ternyata, lelaki itu baru datang setelah Mbak Alya melahirkan.

Entah apa sebenarnya yang terjadi diantara mereka, tapi satu yang saya tahu, bahwa mereka bercerai secara tidak wajar. 

Setelah Akbar berusia dua bulan, Mbak Alya memutuskan untuk kembali ke rumah ibunya. Disitulah saya meminta ikut bersama beliau. Saya ingin mengabdikan diri pada wanita setegar dan sesabar dirinya.

Alhamdulillah, hingga sekarang saya masih sangat betah melayani dan menjaga beliau serta anak satu-satunya yang beliau punya.

Selama saya di sini, Mas Radit kerap datang berkunjung. Normalnya sebulan sekali, pernah sebulan dua kali. Tapi satu kali pun Mbak Alya tidak mau menemuinya. Saya yang bertugas membawa Akbar untuk menemui lelaki itu. 

Setahun belakangan ini justru hal aneh kembali terjadi. Beberapa kali saya ketemui, yang datang berkunjung tidak hanya Mas Radit seorang diri, tapi ada istri mudanya dan satu orang lagi. Entah siapa orang itu, sebab orang tersebut tidak pernah turun dari mobil.

Mas Radit meski saya baca sekilas adalah yang paling bersalah dalam hal ini, tapi beliau tidak lupa akan tanggung jawabnya. Setiap bulan, beliau tidak pernah lupa memberikan uang belanja yang ia titipkan melalui saya untuk Akbar. Tapi ya begitu, sepertinya luka hati majikan saya belum ada penawarnya. 

Dia tidak pernah menerima sekalipun pemberian tersebut. Saya yang kerap ia minta untuk menyedekahkan uang tersebut ke panti atau tempat rumah ibadah.

Miris! Iya, saya sangat menyayangkan apa yang sudah terjadi diantara mereka. Mas Radit dan Mba Alya, kedua-duanya jika saya lihat, masih sama-sama saling mencintai. Lalu mengapa mereka bisa berpisah, adalah sebuah pertanyaan besar yang menjadi tanda tanya untuk saya pribadi.

*

"Mas Radit mau kemana?" 

Pelan saya bertanya, melihat lelaki itu sudah rapi dan hendak memasuki kamar Akbar.

"Saya mau pamit, Bik. Tapi sebelumnya, ijinkan saya bertemu Akbar terlebih dahulu."

"Bukannya Mas Radit masih sakit?"

"Saya sudah tidak apa-apa Bik, barusan minum obat yang diberikan Alya. In Syaa Allah nanti kurang. Boleh 'kan Bik, saya masuk sebentar?"

Sebenarnya ini menyalahi janji saya pada Mbak Alya, tapi melihat lelaki ini, rasanya tak tega jika harus melarangnya bertemu dengan darah dagingnya sendiri.

"Yasudah monggo, Mas."

Pelan, ia masuk ke dalam, pintu tidak ditutupnya rapat. Menyisakan celah hingga saya bisa memantau kejadian di dalam sana.

Ia duduk di pinggir tubuh Akbar. Membelai lembut pucuk kepala lalu mencium kening bocah itu. Sekali terlihat ia mengusap mata, membuat saya tahu bahwa Mas Radit sedang menangis.

Istri Yang Kau CeraikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang