1

23 8 4
                                    

Cahaya pagi masih malu-malu memeluk tirai jendela kamar. Silau cahayanya membuat gadis pemilik kamar itu menggeliat bangun. Detik selanjutnya, Ia sudah duduk di tepi ranjang sembari melebarkan mata seakan berusaha mengumpulkan kembali nyawanya. Ini hari Sabtu, dia tak perlu bergegas mandi untuk pergi ke sekolah.

Gadis itu menunduk, tangannya mengambil sebuah boks berwarna cokelat di kolong tempat tidur. Perlahan, dibukanya boks yang keberadaannya hanya diketahui oleh dirinya sendiri itu. Benda kubus berukuran sedang itu langsung menyuguhkan beberapa buku yang tersusun rapi begitu tutupnya terbuka. Sebuah buku harian yang di dalamnya terselip pena, dan lima buah buku puisi.

"

Hari ini dimulai dengan puisi karya siapa, ya?" Gadis itu bertanya pada dirinya sendiri.

Tak butuh waktu lama baginya untuk berpikir. Tangannya terulur mengambil sebuah buku bersampul biru dengan tulisan "Untukmu, dari Aku yang Berlagak Bisu". Di bagian bawah sampul depannya tertera nama penulis buku itu.

Sesaat, gadis itu merasa dadanya begitu sesak. Bayangan masa lalu ketika puluhan lembar puisi tulisannya dibakar habis oleh sang Papa mendadak memenuhi pikirannya. Bayangan yang tak jarang menjelma mimpi buruk ketika dia terlelap. Gadis itu memejamkan mata, berusaha mengalihkan ingatannya.

Ia membuka buku itu tepat di bagian terakhir kali Ia membacanya. Bagian yang Ia tandai dengan lipatan kecil di atas halaman. Lembaran itu menyajikan sebuah puisi yang lumayan panjang. Gadis itu tersenyum, menghela napas sejenak, lalu mulai membacanya dalam hati.

Gerimis sendu, hari Minggu
Perempuan sepuh itu masih saja tertidur
Persis seperti hari-hari sebelumnya
Damai, entah mimpinya seindah apa
Mimpi yang perlahan menunjukkan lorong panjang
Jalan bercahaya tanpa lubang
Gadis kecil berbando biru mengusap tangannya
Mengecup telapaknya pelan, dingin
Hari ini aku ulang tahun, katanya
Bangunlah, kau berjanji membelikan gula kapas di pasar malam
Katanya lagi sembari menatap sekeliling, begitu asing
Matanya menelisik heran
Mengamati baju-baju kerudung hitam
Bangunlah, Nara hari ini datang
Entahlah, kenapa Bu Guru juga ikut serta
Beliau memelukku, mengusap rambutku
Bangunlah, tidakkah kau lelah?
Aku takut.
Mereka bilang kau meninggalkan bumi
Padahal kau masih tersenyum disini
Mereka berucap tentang kepedulian
Aku mendengarnya, berdengung bergantian
Ingin aku bentak, tapi seperti nasehatmu, itu tak sopan
Katanya, lagi.
Nara tidak seceria biasanya
Dia bahkan belum menyerahkan kadonya
Sahabat mungil itu mendekat perlahan
Menyentuh lenganku, mengusap pipiku
Aku urung tertawa, dia sepertinya tidak sedang bercanda
Lamat-lamat aku mendengar aku pada bayangmu
Sudah berkurang usiaku di dunia
Sudah berakhir usiamu di dunia
Selamat ulang tahun, dan turut berduka
Gadis itu tersentak
Perempuan itu melambai pada matanya
Berbahagialah, aku dipanggil surga
Aku pulang, begitu pamitnya
Sampai jumpa

JALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang