5

10 3 0
                                    

Bel istirahat menandakan jam pelajaran kimia di kelas Sekar resmi berakhir. Setelah Bu Intan meninggalkan kelas, semua penghuni kelas itu menghela napas lega. Meski didominasi siswa-siswa dengan kecerdasan di atas rata-rata, tetap saja belajar sains membutuhkan pikiran ekstra bagi mereka. Ya, XII IPA 1 memang berisi para diswa terpilih dengan prestasi yang dianggap lebih prestisius dibandingkan kelas-kelas yang lain. Dan, Sekar termasuk diantaranya. Gadis bernama lengkap Sekar Fadlani itu selalu meraih juara umum dari seluruh siswa jurusan IPA di sekolahnya. Tak hanya itu, Ia juga kerap mewakili sekolahnya ketika olimpiade, cerdas cermat, lomba debat, dan perlombaan-perlombaan akademik lainnya.

Beberapa orang beranggapan bahwa menjadi siswa paling pintar di sekolah adalah sebuah kebanggaan. Namun, ternyata tidak bagi Sekar. Ia justru merasa terbebani dengan pencapaiannya. Bagi Sekar, semua itu hanya karena Papa. Jika bukan karena tuntutan Papa, Ia tidak akan berada di posisi itu. Ia hanya akan menjadi siswa biasa di sekolah. Biasa. Kata itu adalah harapan bagi Sekar. Ia ingin berteman dengan biasa, dipandang dengan biasa, dan menjalani kehidupan sekolah yang biasa seperti teman-temannya. Teman? Sekar rasa hanya ia yang menganggap orang-orang itu teman. Bagi teman sekelasnya, Sekar tak lebih dari seorang siswa yang anti sosial, terlalu ambisius, dan enggak asyik untuk dijadikan teman.

"Kantin, yuk!"

"Biologi ada tugas nggak sih, Ra?"

"Udah ayuk cabut! Laper banget!"

"Santi, aku nitip siomay, dong!"

"Kamu nonton Lee Soo Hoo kemarin? Seru banget!"

"Bayu! Ikut main nggak? Ditantang IPS 2 tuh!"

Begitulah kira-kira kehebohan teman sekelasnya ketika jam istirahat tiba. Ada yang langsung ke kantin untuk mengisi perut, main gitar, basket bareng anak kelas lain, atau ada juga yang baru mengerjakan PR pelajaran berikutnya. Semuanya terlihat menikmati jeda waktu belajar yang hanya setengah jam itu. Sebagai kelas yang terkenal unggulan, mereka akan serius ketika jam pelajaran. Namun, layaknya penghuni kelas lain, jam istirahat tetaplah kebahagiaan bagi mereka. Ya, kecuali Sekar. Menurutnya, jam istirahat adalah waktu dimana ia akan kesepian dan terlihat menyedihkan. Tidak ada teman yang mengajaknya ke kantin,  atau sekadar mengobrol ringan.

Sekar hanya akan bersuara dan berinteraksi dengan mereka ketika pelajaran berlangsung. Ketika mengajukan pertanyaan pada gurunya,  presentasi, diskusi kelompok, dan sejenisnya. Sesekali, ada yang bertanya padanya soal yang kurang dimengerti. Saat-saat seperti itulah yang membuatnya senang sekaligus sedih. Ia senang karena ada yang mengajaknya bicara, tetapi rasa senang itu tak berlangsung lama. Ia akan sedih karena obrolan itu akan berakhir setelah ia menjelaskan panjang lebar dan mereka berhasil mengatasi kesulitannya.

Sekar biasa menghabiskan waktu istirahatnya di perpustakaan. Teman-teman dan gurunya mungkin mengira dia belajar materi. Padahal, ia membaca novel atau buku-buku puisi. Mungkin itu satu-satunya kebebasan dan kebahagiaan yang ia dapat di sekolah. Seperti siang ini, gadis itu duduk di bangku paling ujung di perpustakaan. Di tangannya, ia menggenggam sebuah novel karya Suci Patia. Sebenarnya, ia tidak menyukai novel sebesar ia menyukai puisi. Namun, ia sesekali membaca novel yang di dalamnya terdapat kalimat-kalimat puitis.

"Permisi, Kak Sekar?"
Suara seorang gadis membangunkan Sekar dari dunia membacanya.

"Iya? Siapa, ya?" tanya Sekar pada gadis berjilbab yang memanggilnya.

"Salam kenal, kak. Saya Arfi, kelas XI IPA 4," ujarnya memperkenalkan diri.

Gadis bernama Arfi itu kemudian duduk di bangku tepat depan Sekar. Sekar yang tidak terbiasa berinteraksi dengan orang lain, hanya bingung mau berbuat atau bertanya apa. Ia hanya menatap adik kelasnya itu, tersenyum tipis, lalu kembali membaca novelnya.

"Saya ganggu, ya, Kak?"

"Eng..enggak kok! Gimana?" tepis Sekar dengan tangan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, canggung.

"Saya mewakili olimpiade fisika lima bulan lagi, Kak. Saya dengar, dulu Kak Sekar lolos ke tingkat nasional. Boleh nggak kalo saya minta bantuan Kakak?" tanya Arfi sopan.

Sekar tersenyum, "Boleh, kok."

Dalam hati, Sekar tersenyum miris. Mereka butuh otakmu, Sekar. Bukan dirimu, ia membatin.

JALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang