8

6 3 0
                                    

    "Gimana seminarnya?"

    Hadi menginterogasi Sekar yang baru keluar dari kamar. Gadis itu baru selesai membersihkan diri setelah perjalanan bus yang melelahkan.

    Jarum jam menunjukkan waktu maghrib. Sekar melihat Hadi yang sedang bersiap berangkat ke masjid. Melihatnya, gadis itu tersenyum. Setidaknya untuk sekarang, Ia tidak akan berlama-lama diinterogasi.

    "Bagus, Pa," jawabnya singkat lalu mendudukkan pantatnya ke sofa, tempat sang Mama membaca majalah.

    "Nanti cerita sama Papa," titah Hadi lalu meninggalkan keduanya.

    Sekar menghela napas. Rini mengelus punggung putrinya, perempuan itu tersenyum.

    "Capek ya?" tanya sang Mama lembut.

    Sekar tersenyum, lalu bergelayut manja di lengan Rini. Kumandang azan menghentikan aktivitas mereka.

    "Sholat dulu," ujar Rini.

    "Siap, bos!" sahut Sekar diikuti tawanya.

    Selepas sholat, Sekar membantu Rini menyiapkan makan malam. Di sela-sela kegiatannya, perbincangan yang awalnya ringan mulai terasa dalam bagi Sekar.

    "Dik, Mama minta maaf, ya?"

    Sekar mengernyit heran, meminta penjelasan kenapa tiba-tiba minta maaf padanya.

    "Mama belum bisa buat Papa ngertiin kamu," ujar Rini, matanya sedikit berkaca.

    Sekar menelan ludahnya pelan, matanya beralih ke iris sang Mama, lalu tersenyum.

    "Ma, Sekar tahu, kok. Dan nggak sepenuhnya Papa salah, Ma," jawab Sekar.

    Meski berat, Ia mencoba bersikap dewasa. Ia tahu ini tidak mudah baginya. Meski perdebatannya dengan Hadi tak ada ketika Sekar menurut, perdebatan itu masih ada untuk dirinya sendiri. Kadang, Ia merasa benar karena memperjuangkan mimpinya. Kadang juga sebaliknya, merasa bersalah dan durhaka pada Papanya.

    "Mama tahu, kamu pasti kesel tiap dibandingin sama Kak Bella," ujar Rini sedih.

    "Kesel sih iya, Ma. Tapi Sekar nggak benci sama Kak Bella, kok. Yang salah itu yang ngebandingin,"

    "ya, tapi kadang bener juga, Ma. Semua orang juga tahu kalo Kak Bella anak pinter, penurut, dan selalu buat Mama Papa bangga," imbuh Sekar.

    "Terus, kenapa? Jangan pernah punya pikiran kalo kamu nggak buat kami bangga, ya? Nggak ada kaya gitu."

    Sekar hanya menanggapi nasihat Mamanya dengan senyuman, lagi. Bagi Sekar, Ia tidak punya masalah apapun dengan sang Mama. Sekar juga tahu kalau Rini begitu menyayanginya, pun dengan Hadi. Meski cara mereka berdua berbeda.

JALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang