"Cantik," puji gadis berambut sebahu itu.
Tangannya kemudian mengusap genangan yang sempat mampir di kelopaknya. Puisi karya Dwi Wulan Sari berjudul "Selamat Berduka" itu membuatnya terharu. Ah, memang selalu seperti ini ketika membaca puisi, pikirnya. Perasaannya seolah lepas begitu saja. Rasa marah, kesal, takut, tertekan, semuanya lebur tak bersisa. Itulah kenapa ia begitu mencintai puisi. Membuatnya bahagia dengan sederhana.
"Sekar, waktunya sarapan, Dik!"
Teriakan sang Mama dari balik pintu kamar berhasil melenyapkan perasaan bahagia sekejap itu."I..iya, Ma. Sekar turun!"
Buru-buru, Ia memasukkan bukunya asal, menutup boks nya rapat, lalu mengembalikannya ke tempat semula. Aman, desisnya lega.
Bersamaan dengan kepalanya yang menyembul kembali dari kolong ranjang, pintu kamar terbuka oleh Rini, perempuan paruh baya yang Ia sebut "Mama".
"Lagi nyari apa, Dik? Ada barang jatuh?"
"E..iya, Ma. Kayaknya tadi ikat rambut Sekar jatuh, tapi ternyata nggak ada di sini," alibinya diiringi dengan perasaan was-was dan jantungnya yang berdetak lebih cepat.
"Ya udah, nanti aja lanjutin nyarinya. Sekarang sarapan dulu, udah ditunggu Papa."
Mendengar kata "Papa" disebut membuat gadis itu spontan menganggukkan kepalanya cepat.
Setelah Rini pergi, barulah Ia bisa bernapas lega. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan menimpa hidupnya kalau Mama dan Papa tahu Ia masih menyimpan buku-buku puisi.Tak mau membuat Papa marah hanya karena menunggunya sarapan, Sekar bergegas mengikat rambutnya asal lalu keluar kamar untuk melakukan rutinitas pagi keluarga, sarapan bersama.
Sesampainya di meja makan, rasa laparnya mulai meningkat begitu melihat sepiring nasi goreng, telur mata sapi, dan kerupuk yang tersaji di hadapannya.
Semua masih terasa nikmat sampai suapan kelima, sebelum pertanyaan Papa membabat habis rasa nikmat sarapan pada lidahnya.
"Tahun ini masih optimis juara umum 'kan? Jangan lengah, bisa saja yang tahun kemarin posisi nya di bawah kamu, belajar lebih keras untuk ada di posisi pertama."
Sekar menghela napas panjang sebelum menjawab Hadi, Papa nya. Helaan napas yang hanya terdengar oleh dirinya sendiri. Bisa panjang urusannya kalau sang Papa mendengar helaan napas penuh kebosanan itu.
"InsyaAllah, Pa," jawab Sekar singkat.
"Selain belajar, kamu juga harus mulai rajin cari informasi kampus-kampus favorit. Biar nanti nggak kelabakan," saran Hadi yang lebih pantas disebut perintah bagi Sekar.
Sekar hanya mengangguk lalu cepat-cepat menghabiskan nasi gorengnya. Inilah alasan kenapa Ia begitu membenci akhir pekan. Ayahnya libur dan kerap kali menghabiskan waktunya di rumah. Bukan Ia tak suka Papa nya di rumah. Hanya saja sikap Papa yang selalu menuntut dan mengekang hidupnya membuat Sekar jengah.
KAMU SEDANG MEMBACA
JALA
General FictionSekar Fadlani. Seorang gadis pencinta puisi yang selalu meraih juara umum di sekolahnya. Ambisius dan ansos, begitulah teman sekolahnya menilai Sekar. Merasa tertekan di lingkungan keluarga membuatnya menjadi pendiam dan lebih suka menyendiri. Ia ti...