6

7 3 0
                                    

Tepat pukul 19.30 WIB, keluarga Sekar sudah hadir di sebuah restoran mewah yang menyajikan masakan khas Jepang. Malam ini, langit Bandung terlihat bercahaya. Ribuan bintang bertaburan di atas sana. Sekar mengenakan tunik berwarna putih dipadukan dengan jeans hitam. Rambut pirang sebahunya ia biarkan tergerai dihiasi bando biru tua. Sederhana, seperti Sekar biasanya. Sedangkan Papa dan Mamanya memakai pakaian yang terkesan lebih resmi.

Tak lama kemudian, datanglah sepasang suami istri menghampiri meja mereka. Dari tampilannya, Sekar bisa menebak mereka bukanlah orang biasa.

"Maaf, kami terlambat," ucap si pria sambil menjabat tangan Hadi akrab.

"Nggak papa. Gimana kabarmu, Ed?" sapa Hadi sambil memeluk ala pria kepadanya.

"Alhamdulillah, sehat. Ini putrimu? Cantiknya," puji si wanita kepada Rini.

Sekar hanya tersenyum, lalu mencium punggung tangan mereka. Merk jam tangan yang dikenakan mereka sudah membuat bulu kuduk Sekar meremang.

Meskipun Papanya bekerja di sebuah perusahaan ternama, keluarganya tidak pernah membiasakan diri berpenampilan mewah. Satu-satunya orang di keluarga Sekar yang sering memakai brand ternama hanyalah Bella, kakaknya. Itupun karena ia sudah tiga tahun berada di luar negeri, jadi mulai mengikuti gaya teman-temannya.

Setelah basa-basi sebentar, makanan pun datang. Sembari menyantap yakiniku yang terasa meleleh di mulut Sekar, pria seusia Hadi yang akhirnya Sekar ketahui bernama Edwin itu mulai menanyai Sekar.

"Mau kuliah dimana, Sekar?"

"Masih nyari-nyari, Om," jawab Sekar singkat sambil tersenyum tipis.

"Di Jepang aja, Mas. Biar barengan sama Verrel," saran istri Edwin, namanya Jesi.

Sekar masih mempertahankan senyum tipisnya. Daging yang awalnya sangat nikmat mulai terasa hambar, seiring obrolan dua pasang orang tua di depannya. Hadi dan Rini mengimbangi usulan itu dengan beberapa jawaban dan guyonan khas teman lama. Sedangkan, Sekar yang dibicarakan justru semakin jengah dibuatnya.

Mendadak, Ia menyesali keputusannya ikut ke Bandung. Tujuan Sekar ikut adalah untuk jalan-jalan. Berharap bisa sejenak menyegarkan pikiran, tetapi yang terjadi malah semakin menyumbat kepalanya.

"Emang mau ambil jurusan apa, Sekar?" tanya Jesi lembut, tetapi mengerikan bagi Sekar untuk dijawab.

Perihal kuliah dimana, jurusan apa, dan sejenisnya adalah pembahasan sensitif bagi Sekar. Terlebih sekarang, ada Papanya. Belum sempat Sekar buka suara, Hadi sudah lebih dulu menjawab pertanyaan Jesi.

"Bisnis, seperti kakaknya."

Jawaban Papanya membuat Sekar menelan ludah, pahit. Di benaknya, gadis itu sudah bisa menebak kemana arah pembicaraan selanjutnya.

"Oh, iya. Apa kabar Bella? Aishh, anak pinter itu," tanya Edwin diselingi pujian yang langsung membuat Sekar mengatupkan mulutnya rapat-rapat.

Kecerdasan Bella memang sudah bukan rahasia bagi teman-teman orang tuanya. Apalagi semenjak anak sulung Hadi itu mendapat beasiswa S2 di Jerman.

Sesuai tebakan Sekar, pembahasan mulai mengarah tentang Bella. Hal itu selalu membuatnya merasa tak dihargai keberadaannya.

"Baik, Mas. Bulan depan pulang katanya," jawab Rini singkat.

"Langsung aku jadiin guru privat buat Verrel nanti, Mbak," canda Jesi diimbuhi gelak tawa ketiganya.

Setelah jarum jam menunjukkan pukul 22.13, obrolan pertemuan kawan lama itu akhirnya selesai. Sekar menghela napas lega. Ia terbebas dari mendengar pembicaraan-pembicaraan menyebalkan berikutnya.

Dalam perjalanan pulang, mobil yang keluarga Sekar tumpangi pun masih diisi dengan ceramah panjang kebanggaan Hadi perihal Bella. Sesekali, Rini menanggapi singkat. Perempuan itu berusaha mengganti topik pembicaraan saat menyadari raut bosan dari wajah Sekar.

Sekar tidak peduli. Gadis itu memejamkan mata, pura-pura tertidur. Ia baru membuka mata setelah Rini membangunkannya, ketika mereka sudah tiba di rumah. Sepertinya, malam ini akan menjadi malam yang panjang seperti sebelum-sebelumnya.

JALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang