Suara pintu terbuka menandakan kepulangan Hadi. Setelah berganti baju santai, laki-laki itu menyusul istri dan anaknya di meja makan.
"Pa," sapa Sekar mempersilahkan duduk.
Dalam hati, Sekar begitu berharap Papanya akan bertanya hal-hal di luar materi seminar. Bagaimana perjalanannya, seramai apa, kenalan sama siapa aja, dan lainnya. Entahlah, kalimat terakhir yang muncul di kepalanya justru membuatnya teringat sosok Gama. Ah, laki-laki sok kenal itu, batinnya pelan.
"Apa aja materi seminar tadi?"
Dan, seperti yang sudah-sudah, pertanyaan Hadi tidak pernah seperti keinginannya. Ia sedikit menyesal telah berharap berlebihan. Berlebihan. Sekar tertawa miris dalam hati.
Sekar meneguk air putihnya sebelum menjawab Hadi, setelah menelan nasi dan tumis kangkungnya yang mendadak terasa hambar.
"Nanti dulu, Pa. Makan dulu," sergah Rini tidak tega melihat anaknya.
Melihat Hadi tidak menjawab dan melanjutkan makannya, Sekar memilih diam. Untuk sejenak, ia bisa menikmati makan malamnya kembali dengan tenang. Sedikit tenang.
Setelah makan, Rini pamit menghadiri arisan di rumah tetangga. Ia meminta Sekar membereskan meja makan. Sekar mengiyakan. Dalam kepalanya, ia berpikir malam ini tidak ada yang melerai jika ia bertengkar dengan sang Papa.
Setelah membersihkan meja dan mencuci piring, Sekar menghampiri Papa di ruang keluarga. Bagaimanapun, ia masih berhutang jawaban pada Papanya.
Melihat kedatangan putrinya, Hadi tersenyum. Kadang, laki-laki itu pun merasa bersalah pada putrinya, dan Sekar mengetahui hal itu meski Hadi tidak pernah secara langsung menyampaikannya.
Sekar mulai bercerita panjang lebar, di depannya Hadi mendengarkan dan sesekali menanggapi seperlunya. Setelah kurang lebih sepuluh menit, Sekar mengakhiri ceritanya. Dan, seperti biasa, ia menunggu Papanya berbicara balik.
"Bagus. Papa cuma mau mastiin kamu menyimak seminar dengan baik. Siapa tahu kamu bukannya ke sana malah beli buku-buku puisi yang nggak guna itu."
Kalimat Hadi membuat raut wajah Sekar berubah. Mulutnya gatal sangat ingin mendebat,
"Pa, apa hobi Sekar seburuk itu di mata Papa?"
Pertanyaan Sekar begitu mengejutkan Papanya. Sekar melihat itu dari sorot matanya. Gadis itu bersiap menunggu pertengkaran dengannya. Ia sudah kebal, meski masih sangat kesal.
"Nggak usah mancing pertengkaran," ucap Hadi lalu mulai mengambil koran di atas meja dan membacanya.
"Papa mau daftarin Sekar kuliah di mana?"
Entah apa yang merasuki Sekar hingga ia nekat menanyakan itu.
Gadis itu tahu, cepat atau lambat, ia akan tahu dan patah hati akan hal itu. Jadi, kenapa harus ditunda kalau ia akan mengalami patah hati yang sama?
KAMU SEDANG MEMBACA
JALA
General FictionSekar Fadlani. Seorang gadis pencinta puisi yang selalu meraih juara umum di sekolahnya. Ambisius dan ansos, begitulah teman sekolahnya menilai Sekar. Merasa tertekan di lingkungan keluarga membuatnya menjadi pendiam dan lebih suka menyendiri. Ia ti...