3

13 5 0
                                    

Sekar baru saja memasuki rumah ketika matanya menangkap keberadaan sang Papa tengah duduk di sofa ruang tamu, dengan tangan bersedekap.

"Papa udah pulang?" sapanya ramah, meski hatinya bertanya-tanya kenapa Papa pulang cepat di hari Senin.

"Dari mana aja kamu baru pulang?"

"Maaf, Pa. Tadi habis bimbel Sekar mampir beli minum sebentar," jawabnya berbohong.

"Buka tas kamu!" perintah Hadi membuat tubuhnya menegang seketika.

Bukan tanpa alasan ia bersikap demikian. Pasalnya, Ia tadi mampir ke toko buku dan membeli beberapa buku antologi puisi. Bisa panjang urusannya kalau sang Papa tahu.

Sekar tetap di posisinya, membuat Hadi mengernyit curiga. Namun, dewi fortuna sepertinya di pihak Sekar kali ini. Kehadiran Rini menyambutnya membuat Papa nya lupa akan kecurigaan itu.

    "Udah pulang? Ganti baju, terus makan. Mama siapin," ujar Rini sambil tersenyum.

    Sekar balas tersenyum, meski hatinya masih was-was dengan sang Papa. Menyadari ada kecanggungan antara suami dan anaknya, Rini langsung menarik tangan Sekar, mengajaknya ke meja makan. Belum dua langkah, pertanyaan Hadi membuat ibu dan ansk itu berhenti. Ternyata, dewi fortuna hanya singgah sebentar siang ini. Sekar menghela napas, lalu membalikkan badan menghadap Papanya.

    "Kamu masih ngabisin uang cuma buat puisi-puisi nggak guna itu?"

    "Kamu tahu berapa biaya yang udah Papa keluarin buat sekolah kamu, bimbel kamu?"

    Dua pertanyaan itu begitu menohok hati Sekar. Mati-matian Ia menahan bulir di kelopak matanya. Jawab! Kamu enggak salah! Jangan bertindak gila. Dia Papa mu! Diam saja, Sekar. Diam, jangan menjawab!, batinnya berperang di dalam sana. Wajahnya seketika makin pucat.

    "Ini balasan kamu buat Papa?" bentak Hadi yang semakin membuat dada Sekar seperti tertindih beban yang sangat berat.

    Betapa ingin gadis itu menjawab Papa nya, menjelaskan pembelaan atas perbuatannya yang Ia sendiri tidak tahu apa yang salah dari membaca dan menulis puisi. Apa seorang anak harus menapaki jalan yang dibangun orang tuanya? Apa tidak bisa seorang anak membangun jalan sendiri untuk impiannya? Apakah salah?

    "Paa..." Rini mencoba melerai, tapi seperti biasa, percuma.

    Hati Rini remuk melihat air mata Sekar yang terus mengalir. Namun, siapapun tidak akan bisa mencegah luapan kemarahan Hadi. Perempuan itu hanya bisa menatap anak bungsunya dengan kasihan. Rasa benci pada dirinya sendiri selalu muncul di saat-saat seperti ini. Saat Ia sebagai Mama tidak bisa berbuat sesuatu untuk menghentikan kesedihan putrinya. Saat Ia hanya bisa diam melihat putrinya tersiksa.

    "Mau sampai kapan kamu membantah perintah Papa?" tanya Hadi dengan nada yang mulai merendah, memberikan Sekar kesempatan untuk berbicara.

    "Bicara. Diam nggak akan menyelesaikan masalah," lanjut pria yang masih terlihat tampan meski tak lagi muda itu.

    Bergegas, Sekar menghapus genangan mata dengan punggung tangannya. Gadis itu memutar otak mencari jawaban yang tidak berpotensi menyulut kembali kemarahan Hadi.

    "Bicara pun nggak akan buat Papa ngerti," ujar Sekar pelan.

    Dan, yang terjadi justru sebaliknya. Kilatan mata yang Sekar lihat bukanlah tanda kemarahan Hadi akan selesai begitu saja. Jawabannya justru semakin membuat aura diantara mereka makin menegang.

    "Kamu itu selalu saja keras kepala! Coba, contoh kak Bella! Kakakmu itu selalu nurut apa kata orangtua. Apa susahnya?"

    Mendengar nama kakaknya, hati Sekar mencelos. Selalu seperti ini. Ia bosan selalu dibandingkan dengan kakaknya.

    "Pa...,udah ya? Biar Sekar ganti baju dulu. Ayo, Dik. Kamu pasti capek baru pulang jam segini," ucap Rini, tangannya mengambil alih tas punggung Sekar, lalu menggandeng putrinya menaiki tangga ke lantai dua, kamar Sekar.

    "Sekali lagi kamu membantah, jangan kaget kalo Papa nggak butuh persetujuan kamu buat daftarin kuliah dimana. Itu kuasa Papa sepenuhnya."

    Ucapan itu terdengar saat Sekar baru saja menaiki anak tangga kedua. Tak ayal, hal itu membuat sesak dan kebencian kian menyeruak dalam dadanya. Kepalanya dipenuhi amarah yang berkecamuk hebat. Sekar melepas genggaman tangan Mama nya, lalu secepat kilat Ia berlari menuju kamar. Begitu pintu kamar tertutup, gadis itu menangis sejadi-jadinya.

Flashback on

    Kamar dengan dominasi warna biru itu terasa lengang. Sesekali terdengar detak jarum jam yang terpajang di dinding dekat pintu. Gadis remaja di dalam kamar itu masih setia melamun. Tatapannya nanar menyaksikan buku-buku beserta puluhan lembar folio berisi tulisannya habis dimakan api. Puisi-puisi karya penyair favorit dan curahan hatinya itu sempurna menjadi debu. Air matanya Ia biarkan mengalir deras tanpa tertahan. Perlahan, Ia terduduk di lantai sambil memeluk lututnya sendiri.

    Satu jam yang lalu, gadis itu masih bersenandung kecil mengiringi tangannya yang menulis ria di atas selembar folio. Akhir-akhir ini, Ia begitu senang menulis puisi. Sederhana memang, tapi ternyata cukup memberikan ruang baginya untuk sejenak istirahat dari buku-buku pelajaran yang tebal. Belum lagi jadwal bimbel yang terlalu padat tak jarang membuat kepalanya pening.

    Kesukaan gadis itu menulis puisi berawal dari cuitan salah satu akun Twitter dengan nickname @kutubcorp. Dalam sebuah tweet nya, dia menulis satu kutipan puisi berjudul "Jumpa Kali Kedua". Iseng membacanya, entah kenapa ada perasaan berbeda dalam hati gadis itu. Perasaan mengena dan penasaran yang membuat jarinya men-scroll lagi dan lagi. Sejak saat itu, Ia jadi suka merangkai kata-kata di atas kertas. Kata-kata sederhana yang Ia poles sedikit untuk menceritakan perasaan atau kegiatannya sehari-hari. Dan, Ia tak pernah merasa sebahagia itu hanya karena menulis.

    "Sekar? Kamu di dalam?" suara Papa nya terdengar dari balik pintu.

    "Iya, Pa! Masuk aja, Adik nggak kunci kok," jawabnya setengah berteriak.

    "Pa, lihat deh Adik buat apa!"

    "Apa? Coba sini Papa lihat," jawab Hadi sambil mendudukkan pantatnya ke ranjang Sekar. Ia tersenyum, tangannya kemudian engacak rambut putrinya gemas.

    "Tadaaa..!" serunya bersamaan dengan menunjukkan beberapa lembar kertas folio berisi tulisannya kepada Hadi.

    Papa nya mengernyit heran, "Itu apa? Banyak banget."

    "Puisi, Pa. Ternyata asyik, loh! Next time, aku buatin Papa deh," ujarnya bersemangat.

    Raut wajah Hadi berubah masam, "Belajar aja. Nggak usah aneh-aneh buat begitu."

    "Sekar udah belajar kok, Pa. Ini buat selingan aja. Boleh ya?" Sekar masih berusaha menawar keputusan Papa nya.

    "Sini, kertasnya! Nulis beginian nggak menjanjikan masa depan kamu!!" nada suara Hadi seketika naik.

    Melindungi kertasnya yang terancam, Sekar meremasnya erat lalu menyembunyikannya di balik punggung.

    "Sini! Sebelum Papa marah!"

    "Kenapa, Pa? Sekar udah belajar," lawannya diiringi mata yang mulai berair.

    Detik berikutnya, kertas-kertas itu sudah berpindah ke tangan Hadi. Setelah itu, dirobeknya kasar lalu dimasukkan ke dalam tong sampah. Tangan kiri Hadi mengambil korek di saku kemejanya.

    "Pa! Jangan! Pa, Sekar mohon!" pekik Sekar bercampur isak tangis melihat apa yang akan dilakukan Papa nya.

    Namun, terlambat. Kertas-kertas itu terbakar sesaat sebelum Sekar sempat menyelamatkannya. Gadis itu termenung, pikirannya mendadak kosong. Sedangkan kertas-kertas itu semakin hangus terbakar.

    "Belajar lagi! Kamu pengin pintar dan banggain Papa Mama seperti kakakmu 'kan?"

    "Kakakmu selalu belajar, bukan membuang waktu seperti kamu saat ini!"

    Setelah mengucapkan itu, Hadi membalikkan punggung dan pergi dari kamar Sekar.

Flashback off

    Bayangan masa lalu itu terus berputar di kepalanya. Membuat pikirannya bercabang dan riuh di kepala. Sekar memegang dadanya yang terasa nyeri. Sakit. Sakit sekali.

JALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang