Langit tangah diselimuti awan, suhu di bawah permukaannya sejuk, tidak panas, tidak pula dingin.
Dengan langkah berat Chan membuka pintu rumahnya, “Jinsol!” panggilnya segera setelah ia melepas sepatu.
“Jinsol!” dipanggilnya lagi nama wanitanya.
Suara langkah kaki yang tergesa terdengar mendekat, sosok gadis berbalut kaos milik Chan muncul, “Chan? kenapa teriak-teriak?”
Chan tersenyum, dengan langkah terseok ia menghampiri Jinsol lantas memeluknya. “Seneng bisa liat kamu lagi.”
Jinsol mengernyitkan kening, diendusnya badan si lelaki dan menemukan jejak bau alkohol di pakaiannya, “Siang-siang kok minum sih Chan.”
“Hehehe,” Chan menjauhkan tubuhnya, “Cantik banget sih.”
“Kamu mabuk, duduk dulu biar kuambilin minum.”
“Heem,” Chan menggeleng, “Kamu juga ikut duduk, ada yang mau aku omongin.”
Dibaringkannya tubuhnya yang lelah dengan kepala berbantalkan paha sang kekasih, Chan memandangi wajah Jinsol, seraut senyum sedih muncul di bibirnya.
“Kayaknya kamu menang Sayang,” suara Chan gemetar saat dia mengatakannya.
“Maksudnya?”
Terlebih dahulu Chan menghela napas sebelum melanjutkan, “Dulu waktu aku sedih karena harus lanjut sekolah ke luar negeri kamu bilang begini 'Ayo kita sama-sama berjuang dan bertahan, siapa yang kalah atau meninggalkan dia yang kalah'...”
Chan tersenyum sedih, “Dan hari ini aku ninggalin kamu.” lirihnya.
“Nggak papa Chan.”
“Kamu yang ada buat aku di setiap waktu sulitku Jinsol, kenapa kamu mudah banget ngelepasin aku ha?”
“Hei...” jemari Jinsol memijit kepala Chan dengan lembut, sembari membelai surai halus Sang Dokter ia pun berkata, “Kamu nggak akan punya masa depan kalau bareng aku.”
Dengan keras kepala Chan menggeleng, “Aku nggak mau masa depan, aku mau kamu.”
“Bangchan, jangan sembarangan kalau ngomong.”
Akhirnya tangisan Chan pecah juga, “Aku nggak suka sama Hyunjin, Jinsol. Nggak suka.”
“Kamu akan sayang sama dia nanti.”
“Jinsol,” Chan bangun dari posisinya. “Kamu juga nggak mau aku nikah sama dia kan? cepet bilang kalau kamu mau mertahanin aku, ayo bilang...”
Jinsol menggeleng pelan, “Chan...” lirihnya.
Chan mengerang penuh kekecewaan, “Aku punya tabungan, kita bisa kabur ke luar negeri.”
“Bangchan, no! kamu bertahan sejauh ini bukan untuk hidup dalam pelarian, jangan jadiin aku sebagai batu sandungan buat masa depan kamu.”
“Sayang please...”
Dadanya terasa seperti dihimpit batu besar saat mendengar kalimat tersebut dari mulut wanita yang ia pacari sejak usia belasan, yang menemani natal sepinya setiap tahun dengan coklat panas, kue jahe, dan hadiah sederhana serta doa agar impiannya sebagai dokter terkabul.
Tapi saat impiannya terwujud, dia justru menyerahkan Chan pada orang lain dengan suka rela.
Berkali-kali Chan mencoba kembali pada Jinsol, tetapi dia selalu ditolak.
Kali ini pun begitu.
Dia baru selesai menikah dengan Hyunjin, pernikahan yang baru dilaksanakan di atas dokumen, belum ada upacara atau pesta, karena Hyunjin masih seorang siswa, baik upacara dan pesta pernikahannya baru akan dilaksanakan nanti saat Hyunjin setidaknya sudah lulus SMA.
KAMU SEDANG MEMBACA
(√) Dr Chris and the Heir (Chanjin)
HumorKarena tumbuh dan berkembang di keluarga kaya raya, Hyunjin jadi terbiasa hidup tanpa usaha, toh rumah sakit yang termasuk tiga besar di negara adalah milik ayahnya, sudah pasti dia adalah pewarisnya. Tapi nyatanya, warisan Hyunjin jatuh ke tangan B...