Ada sebuah ikatan cinta yang terlarang. Membakar gelora pedihnya dosa akan nafsu tak tertahan. Kerongkongan kering. Keronata akan kenikmatan. Mungkin neraka tengah menganga. Tapi, tolong biarkan aku bungkam. Membutakan arah dalam jarum tujuan. Jalan yang kututup. Kutinggalkan kilaunya.
Cahayanya membuntutiku. Menapaki sisa kemilau senja, menuju arahmu.
Sekali lagi. Tak ada kekhawatiran yang mengkhawatirkanku.
Biarkan jalanku hilang. Rumah itu terbakar egoku. Tapi tolong biarkan, gejolak dalam hati yang kelam dusta ini, sungguh terlalu dahsyat genderangnya.
Buka saja. Buka saja kesempatan itu untukku. Denganku. Denganku kau akan bahagia.
***
Suatu penghujung hari, di kota bara.
".... lihat matanya, maka kau akan tersedu mengharap keajaiban. Lalu, lihatlah juga helai jelaganya yang menari tersapu angin. Jika aku kehilangan separuh jalanku. Denting alunan nada, membiarkanku hidup dalam kepuasan tak terkira."
Terhirup pengap dalam sisa hari di Jakarta. Terpejam dalam imajinasi buatan sendiri yang dibumbui khayalan serta bayangan. Sekalipun batin tak mempunyai indera keenam, sekurangnya masihlah mampu ia membayangkan seindah apa sosok yang sedang digunjingkan dalam puisi cinta yang berkarat.
Dua lelaki yang tengah menapak panjangnya jalan menuju dewasa. Sebuah kata yang sering didendangkan orang tua, tapi begitu dalam pengertiannya. Tapi, kadang walau genap usia belum menginjak matang, ganasnya jatuh cinta sering datang lebih cepat dari yang dijadwalkan.
"Tunggu, Busway menuju taman Melayu sebentar lagi akan lewat."
Keduanya menoleh. Bersamaan pada seorang pria dewasa sibuk yang nampak berkarir mapan, yang lewat di depan mata, tanpa tahu kalau dua remaja ini sedang berdiskusi hebat perkara cinta yang gelisahnya paripurna.
"Sudah kubilang kau takkan bisa menyembunyikan rahasia ini dariku, Jen."
Bergetar, dan bergemuruh. Bukanlah hati. Tapi jalan, yang terlewati kendaraan raksasa. Jeno tertawa sinis. Nyaris nyengir, menertawakan ketepatan sahabatnya dalam menembak perkara.
Gejolak hati meledakkan kebahagiaan tak manusiawi. Cahaya senja di ufuk barat seolah Tuhan berikan kepadanya. Khusus untuk menyelamati kesuksesan hatinya mencipta dosa. Taburan bunga beraroma bangkai menyelubungi hatinya yang gelisah.
"Jatuh cinta seberengsek ini rupanya."
Entah pertanyaan ataukah pernyataan. Perkara masih melayang tak beralas kepastian, membuat Jaemin merenung sejenak untuk menjawab.