Kamu itu candu ku.
Aku tak mau pergi dan ingkar dari ikatan ini.
Walau semua sayap ku sudah kau patahkan, dan semua cintaku sudah kau hancurkan.
Aku tetap punya seribu celah untuk memaafkanmu.
Selalu begitu bukan?
Meskipun seisi dunia sudah bosan meneriaki ku untuk melepaskan, nyatanya aku tetap pada pendirian ku.
Sudah banyak saksi bisu dan buta yang melihat bagaimana kuatnya aku menutupi jiwaku yang hancur demi segenggam cinta untukmu.
***
Kali pertama aku melihatmu, kesan pintar adalah hal yang paling menonjol darimu.
Kau seperti debur ombak.
Penuh gairah dan kejutan yang membuatku kagum.
Kau yang saat itu berdiri angkuh di hadapanku, berhasil sangat menarikku untuk jatuh cinta padamu hingga tak bisa aku berpikir waras.
Itu yang terjadi padaku.
Karena mau berapa kali pun kau mengkhianati, aku tetap tak bisa berhenti mencintaimu.
"Kamu tahu bukan kalau beasiswa ini penting buatku?"
Dari lamunku, kau bertanya. Sangat halus dan lembut, berbanding terbalik dengan semua perlakuanmu padaku.
Aku hanya diam saja. Enggan dan tak ingin menjawab permohonan itu darimu.
Kau sudah tahu bukan kalau aku tak bisa?
Aku berpura-pura acuh. Dan sibuk memperhatikan kesibukanmu dengan seluruh persiapanmu untuk pergi.
Tapi. Seperti yang pernah ku katakan,kau sangat pintar. Tahu kalau untuk hal ini aku sedikit sulit untuk di bujuk dan rayu.
Maka kau pun, menunjukan kesungguhanmu.
Kau berlutut di hadapanku. Menyentuh lutut ku dengan lembut. Kau seolah hendak melamarku, imajinasiku bermain sendirian.
Tapi nyatanya, disini kau justru berlutut untuk memohon meninggalkan ku.
"Aku tahu beasiswa itu penting buat kamu. Tapi apa aku gak punya kesempatan buat mengajukan pilihan?"
Dengan bodohnya aku menanyakan hal yang paling mustahil untuk kau kabulkan.
Itu terlihat dari wajahmu dan sorot matamu.
Senyuman tipismu seakan memperkuat asumsi ku bahwa kau sedang menertawakan kelemahanku.
"Semuanya udah jelas, Kun. Aku gak bisa ajak kamu. Mama dan papaku ada disana, dan itu gak bagus. Lagipula keadaan akan sulit kalau mereka tahu soal kamu."
Soal aku katamu? Bukannya akan lebih baik kalau kau menggantinya dengan ‘hubungan kita’?
Aku tersenyum. Miris.
Kenapa rasanya seperti aku yang mengejarmu duluan?
Padahal kisah romansa antara sang mahasiswa kedokteran terbaik di Universitas yang mengejar seorang mahasiswa dari kelas seni, sangat terkenal waktu itu.
Apakah otak jeniusmu tidak sanggup mengingat bagaimana gencarnya kamu dulu memohon cintaku?
Sampai ketitik dimana aku luluh dan tunduk, lalu balas mencintaimu lebih kuat.
Ketika semua ilmu pembedahan saja bisa kau lahap tanpa henti, mengapa untuk mengingat semua itu rasanya kau kesulitan?
Aku jadi berpikir, apa kecerdasan seorang Kim Doyoung itu hanya bualan saja?