Aku bingung harus menyebutnya dengan apa.Karena perpisahan yang terjadi di antara aku dan dirinya hanya bagaikan sebait puisi kelabu tanpa arti.
Aku jelas mencintainya.
Bahkan dengan segenap jiwa, asa, dan nyawaku aku berani bersumpah atas cintaku.
Tapi aku bagai menemui jalan buntu.
Cintaku tak pernah menemui kelanjutan dari kisahnya.
Aku hanya berbatasan pada rasa mengangumi dan menggilai tanpa pernah ku ungkap dan ku ucapkan.
Jika boleh jujur, aku sempat menyesali ketidakberdayaanku.
Mengapa aku begitu lemah dan penakut?
Kalau ternyata perihnya di tinggalkan tanpa harapan akan terasa sepahit ini.
Yang bisa ku lakukan kini, di setiap senja dalam batas kota hanyalah mengenangmu, senyummu, dan segala kepingan tentangmu yang masih tersimpan rapi di dalam lubuk hatiku.
Karena aku tahu cinta milikku mungkin sudah karam.
Kau pun mungkin sudah di miliki orang lain. Lagipula, cinta kita teramat tabu untuk di ungkapkan tabirnya.
Aku tak sanggup membuatmu menderita. Hingga aku lebih memilih untuk menyimpannya sendirian.
Itulah yang menjadi dasar pemikiran ku dahulu.
Apa aku salah?
Tapi waktu terlalu kejam dan mungkin ia marah padaku. Pada kelemahanku.
Hingga ia membiarkanku tenggelam dalam kehampaan cintaku sendirian melihatmu pergi tanpa jejak dan tanpa harap untuk kembali padaku.
Tapi.
Tak akan marahkah engkau jika aku masih mengharapakanmu kembali?
Cintaku.
Tolonglah aku.
Jangan karamkan hati ku yang rapuh ini.
***
Orang-orang pernah berdalih padaku. Katanya kehidupanku adalah definisi dari tujuan yang selama ini mereka cari.
Karir gemilang, kehidupan yang mapan, dan segudang kelebihan lainnya yang jelas akan menunjang masa depanku semakin cerah seolah aku takkan menemui satupun halangan dan tantangan.
Aku tak ingin mengomentari.
Terserah mereka mau menyebutku apa. Karena bagiku semua kalimat pujian itu samasekali tak berarti untukku.
Aku sudah sering mendengarnya.
Dari dulu pun, saat aku masih menapaki titik awalku, jutaan kalimat pujian sudah bosan ku dengar.
Percuma saja. Semanis apapun, pujian itu tetap tak bisa menyentuh hatiku.
Aku tetap hampa.
Bahagia dalam kepalsuan.
Yang mana, takkan pernah terpikirkan oleh siapapun.
***
Kalau ada yang berkata hidupku sangatlah monoton dan membosankan, aku senantiasa takkan membantahnya.
Karena memang begitulah faktanya.
Semuanya ku awali dari bangun tidur, lalu bersiap, pergi bekerja, berkencan dengan tumpukan berkas yang sama rumitnya dengan perempuan, memasang senyum palsu yang mempesona pada setiap klien yang ku jumpai di kala makan siang, kembali ke kantor, minum kopi dengan berapa rekan, lalu tak terasa sore kembali menyapaku, dan saat matahari tergelincir aku pun pulang, menemui kemacetan untuk kesekian kalinya, tiba ke rumah, minum kopi atau alkohol lagi, memeriksa ulang pekerjaanku lagi, sampai aku lelah dan tertidur.