10; It's Ten

546 41 121
                                    


Orang-orang bilang namaku itu aneh.

Karena meskipun di ambil dari bahasa Inggris bila di artikan kedalam bahasa Indonesia, maka akan berarti angka sepuluh.

Aneh memang. Aku pun menyadarinya.

Tapi mau bagaimana lagi, toh aku percaya bahwa nama adalah bentuk lain dari doa yang di berikan orang tua untuk kita.

Sebagai lambang pengharapan, agar kelak anak mereka memiliki kebahagiaan ataupun sifat kebaikan searti dengan namanya.

Dan karena namaku itu Ten, mungkin saja bukan Umi dan Abah punya sepuluh doa kebaikan untukku yang di lambangkan kedalam nama super duper unik ini.

Aku selalu berpikir begitu.

Setidaknya, kalau aku sedang tidak emosi karena di goda oleh setan Cina yang merangkap jadi teman kos-kosan ku.

Seperti sekarang.

"Mas sepuluh, mas mau tempenya di orek atau di bikin mendoan?"

Lihat tuh, dengan wajah polos tanpa dosanya—yang sialnya cakep sekali—dia menghancurkan reputasi namaku.

Apa setan Cina ini tidak tahu tentang filosofi sebuah nama? Yang mungkin saja di gunakan dengan amat cermatnya oleh Umi dan Abah dulu.

Sia-sia rasanya dua ekor kambing yang Abah korbankan untuk aqiqah ku dulu, kalau nyatanya saat dewasa namaku hanya di jadikan bahan olok-olokan saja oleh si setan imut bernama Qian Kun ini.

"Terserahmu lah, asal jangan di buang aja."

Aku berkata cuek. Benar-benar tidak peduli dengan kerumitan pengurusan bahan masakan bernama tempe yang ku beli dari mang Halid tadi.

Bukannya diam. Setelah ku jawab begitu, dia malah cemberut seraya melemparkan bungkusan daun pisang dari tempe itu padaku.

"Tinggal pilih aja kok ribet banget! Sukur-sukur tahu aku masih mau nyempetin buat masakin kamu dulu sebelum ke Puskesmas. Apa susahnya tinggal jawab."

Dengan bola mata coklat keemasannya—yang entah di wariskan dari siapa yang jelas itu indah sekali—dia menatapku kesal. Bibirnya mengerucut lucu. Sampai aku tidak mau menatapnya lama-lama karena takut khilaf hingga berakhir mencium dan menghisapnya nanti.

Tuh kan! Astaghfirullah! Aku mikir apa?

Kencang aku menampar kedua pipiku. Mencoba mengenyahkan pikiran kotor nan nista tentang elok tubuh Kun dari otakku yang sering sekali error kalau sudah bersangkutan dengan kulit putih mulusnya, atau bibirnya yang bewarna pink segar cantik.

Ya Allah! Malah kemana-mana pikiranku.

Lantaran takut membuat Kun bingung dan berspekulasi kalau aku sinting, buru-buru aku memutar tubuhku.

Kini jadi menghadap padanya yang sedang kalut menghadapi tempe di atas talenan. Sejenak meninggalkan pekerjaanku, memeriksa tumpukan tugas kantorku yang baru selesai separuh.

"Gak usah cemberut gitu," aku bersedekap di hadapannya, sekilas sudah percis seperti seorang suami yang sedang membujuk istrinya agar tidak marah lagi.

"Tempenya di orek aja, kasih kecap yang banyak, jangan lupa kasih micin secukupnya aja."

Aku pun mengutarakan keinginanku. Meskipun di mataku hal ini tidak seberapa penting, tapi Kun selalu meresponnya dengan kebahagiaan yang luar biasa. Ia tak pernah berhenti tersenyum, setiap kali aku memintanya memasak atau memuji hasil masakannya setelah pulang kerja nanti.

Ia tampak begitu bahagia ketika menjamin perutku selalu kenyang sebelum keluar rumah. Tak ayal, itu membuatku merasa di perhatikan dan bahagia juga.

DuniaKunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang