[14] KLARIFIKASI 6 TAHUN LALU

9 3 0
                                    

Kata salah satu pembicara di webinar psikologi yang Oddy tonton minggu kemarin, cara menyalurkan emosi tiap orang itu beda-beda. Ada yang nangis, teriak, bahkan sampai ngerusak barang. Dan sore ini, tepat pukul enam lewat sedikit, Oddy mendiagnosa dirinya sendiri ke tipe yang ketiga.

Udah nggak terhitung berapa banyak botol bekas air mineral Jo yang diem-diem Oddy remat di kolong meja, karena kesal harus terjebak main Truth or Truth di tengah orang-orang yang paling ia hindari.

"Dy pilih gue atau Haikal?"

Pertanyaan Xedis emang nggak sesulit soal olimpiade fisika atau rumus coding punyanya Nam Do San, tapi berhasil bikin Oddy diam seribu bahasa. Gadis itu berpikir keras, dia harus cermat memilih asker dan jangan sampai dapat pertanyaan menjebak atau dia akan berdiam lebih lama lagi disituasi asing nan canggung ini.

Oddy sebenarnya sudah memikirkan beberapa kemungkinan,

kalau milih Xedis paling yang ditanyakan sekitar 'kenapa lo berubah?', 'kenapa canggung banget?' atau pertanyaan yang setidaknya menjurus ke arah sana.

Lain lagi kalau pilih Haikal, cowok itu out of the box alias nggak ketebak, pertanyaan yang keluar bisa jadi tentang kabar semut peliharaan Oddy atau sandwich pemberiannya atau bahkan bahas tentang sesuatu yang jawabannya belum Oddy ketahui sama sekali.

"Lo aja." Setelah menimbang kurang lebih dua menit, akhirnya Oddy putuskan untuk milih Xedis.

Dia cupu, jadi lebih baik cari aman.

Haikal menganga. "Parah banget lo, udah dibuatin san—"

"—Apa pertanyaannya?" potong Oddy secepat kilat, membuat cowok di depannya otomatis bungkam. Pasalnya dia tahu, kata apa yang selanjutnya akan keluar dari mulut Haikal. Apalagi kalau bukan soal makanan sialan tapi enak itu?

Bisa-bisanya lo mau bahas sandwich disaat jantung gue lagi ga karuan gini?!

"YAY!" Xedis memekik girang, ia menjulurkan lidahnya ke arah Haikal, berlagak sombong.

Keadaan menghening, memberi kesempatan pada gadis berumur delapan belas tahun itu untuk melanjutkan permainan.

"Hmm.. Jujur Gue penasaran aja sih Dy, as you know, it's been 6 years since the last time kita kumpul. Apa ada hal yang bikin lo nggak nyaman gitu setelah dua kali kita ketemu? Hal yang menurut lo beda dari kita. Bukan fisik ya, soalnya kalo itu udah jelas, gue makin cantik, Haikal makin burik."

Xedis dan kebiasan basa-basinya.

Dini, Kasan, dan Nanda lantas terbahak memandang raut masam dari si terbuli Haikal. Udah nggak dipilih, dihina pula. Apes banget. Andai saja dia punya kekuatan sihir, ingin sekali rasanya mengutuk Xedis jadi kjokkenmoddinger sekarang juga.

"Bener Dy, gulung aja celananya, borok, kadas, kurap, mata ikan, berkumpul di sana," ledek Kasan.

"Goblok! Mulus kieu suku aing make Fair and Lovely," sangkal Haikal.

"Itu sabun muka tolol."

"Sabun muka aing mah dettol!"

"Anying heuras!" sahut Nanda dengan logat sundanya.

Untung kafe mulai sepi, hanya terisi tiga bangku selain bangku mereka. Setidaknya keberisikan para jamet ini hanya disaksikan beberapa orang.

"Iya atuh digosoknya juga pake kawat, lalu ku basuh dengan cuka apel."

"Eta kulit atawa kerak nying?"

Clak!

"NAJIS NANDA MUNCRAT ANJIR LIUR MANEH!" Haikal menghapus setetes liur yang mendarat mulus di pipinya secara kasar, sangat tidak terima pipinya dinodai cairan laknat milik Nanda. Liur itu bagaikan dosa yang harus cepat-cepat dihapus dan disingkirkan dari kulit sucinya.

•IRIDESCENT•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang