[4] DITUNJUK JADI KETUA ANGKATAN

25 3 1
                                    

"Rese lo A! kenapa harus ngerekomendasiin gua sih?" Jo mengomeli kakak kandung dari sahabatnya itu.

"Kali-kali berguna lah Jo. Haikal aja waktu SMA gua suruh jadi ketua PMR dia nurut kok. Lo sebagai sahabatnya yang udah gua anggep sebagai adik sendiri juga harus nurut," titah Reno dari balik telepon. Suaranya terdengar seperti sedang menahan tawa.

Jo menggerutu. "Ya nyali dia kan emang ciut kalo udah sama lo."

"Udah lah.. Keren lagi jadi ketua angkatan! Dikenal banyak orang, deket sama kating. Gua jamin ya, tuh para betina pasti langsung klepek-klepek."

"Keren-keren, jadi babu iya! Lo pikir gua nggak tau tanggung jawab jadi ketua angkatan tuh besar?!" Suaranya meninggi. Kelakuan Reno benar-benar membuat Jo geram.

"Bagus kalo udah tau. Hitung-hitung belajar lah mengemban tanggung jawab satu angkatan sebelum nantinya bertanggung jawab karna ngehamilin anak orang."

"YA NGGAK BISA DISAMAIN DONG A! NGEHAMILIN ANAK ORANG MAH ENAK, GUA NIKAHIN, TERUS BISA GUA HAMILIN LAGI!"

Jo memang kekurangan akhlak.

Reno tidak terima protes, ia segera mematikan panggilannya sepihak. Pria yang kini tengah menempuh semester tiga perkuliahan itu yakin kalau Jo sebenarnya memenuhi kapasitas untuk dijadikan ketua angkatan di fakultas yang sama dengannya.

"Ngomel-ngomel mulu Bang Jo. Banyak kerutan baru tau rasa," komentar Jingga, adik kelas Jo waktu SMA.

Sekarang mereka sedang berada di kontrakan Cakra, teman satu SMA-nya. Sejak dua minggu lalu, rumah ini resmi menjadi kontrakan bersama yang dihuni oleh lima bujang demi kemudahan dan kelancaran kuliah untuk empat tahun ke depan. Padahal sih alasan sebenarnya, biar bisa lebih bebas saja. Toh, rumah mereka letaknya tidak terlalu jauh dari kampus.

Oh iya, kelima cowok itu adalah Cakra, Jo, Kasanova, Haikal, dan Nanda. Semuanya merupakan teman satu perkumpulan sejak SMA, termasuk Dini, Xedis, dan Jingga. Tiga nama terakhir yang disebut adalah yang paling waras di antara yang lainnya.

Kamar utama ditempati oleh sang pemilik rumah, Cakra. Kelebihannya, kamar mandi dalam, water heater, dan AC. Jangan salah, pria keturunan Cina itu merupakan cucu dari salah satu sultan Surabaya. Uangnya mengalir deras. Bahkan diusianya yang baru menginjak sembilan belas tahun, ia sudah punya black card. Tetapi walaupun kaya raya, Cakra tetap rendah hati dan mau bergaul dengan siapa saja. Termasuk Haikal yang kerjaannya ngutang terus.

Di samping kamar Cakra, ada kamar Jo dan Kasanova. Sebenarnya sedikit berbahaya menggabungkan mereka dalam satu kamar, karena keduanya pecinta berat alkohol, dan Kasanova sudah ahli dalam menyelundupkan minuman haram itu. Bisa-bisa tiap malam mereka mabuk-mabuk-an. Mana kalau sudah mabuk, Jo adalah laki-laki yang paling susah dijinakkan. Berbeda dengan Kasanova yang langsung tepar bak orang meninggal.

Tadinya Nanda marah mengetahui Jo satu kamar dengan Kasanova, tetapi karena mereka berdua kekeuh dan sudah berjanji paling banyak minum seminggu sekali, Nanda pasrah. Perjanjian itu ditanda tangani kedelapan anggota lainnya di atas materai tiga ribu dan ditempel di pintu kulkas. Perjanjiannnya tak hanya berlaku untuk Jo dan Kasanova saja, melainkan untuk semuanya.

Beralih ke kamar terakhir. Kamar Nanda dan Haikal. Letaknya dekat dapur, persis seperti kamar pembantu walaupun ukurannya lebih besar. Haikal sempat sedih karena merasa kastanya paling rendah, tetapi setelah satu minggu berjalan, ternyata punya kamar dekat dapur adalah suatu keistimewaan. Ia bisa diam-diam ambil makanan di kulkas jika lapar melanda tengah malam.

Nanda sendiri tidak masalah untuk tidur dimana pun asal kan ada guling, karena syarat agar Nanda terlelap adalah dengan memeluk sesuatu. Satu hal yang seringkali membuat Nanda emosi sejak sekamar dengan Haikal adalah cowok itu selalu menjemur pakaian dalamnya di jendela kamar. Mana motifnya kalau nggak masha and the bear ya bunga-bunga. Nanda baru tahu kalau diam-diam Haikal itu feminim.

•IRIDESCENT•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang