16|Sebuah kabar

74 14 0
                                    


Zidan membuka kulkas, namun semua bahan masakan telah habis. Sekarang jam setengah tiga, sebentar lagi Viell pulang, dan dia baru selesai ngurus saham. Mah gak mau Zidan harus belanja ke supermarket. Untung aja kompleknya ini gak jauh dari supermarket, jadinya Zidan gak perlu naik motor.

Zidan ngambil jaketnya yang ada di sofa, dia kemudian pergi ke garasi. Matanya tertuju pada sebuah sepeda gunung bernuansa putih dan biru. Ahh, Zidan jadi dejavu sendiri.

Zidan mengeluarkan sepeda itu dari garasi, ia mengambil lap basah dan mengelap sepedanya. Zidan mengecek apakah sepedanya perlu perawatan lebih atau tidak, ternyata sepedanya masih sangat kokoh. Oke, Zidan bakal naik sepeda hari ini.

Zidan menatap sepedanya, dirinya mengukir senyuman melihat sepedanya.

"Liat aja! Ntar kalo gue udah punya motor, gue rongsokin lo!"

Nyatanya ia tidak membuang sepedanya itu, sepedanya inilah yang menjadi saksi kala ia bergegas ke kantor sang Papah yang berada dua kali lipat lebih jauh dari rumahnya untuk memamerkan nilai hasil ulangan hariannya kepada Papah. Dulu, Zidan sering dibandingkan dengan Dimas yang otaknya lebih jenius dibanding dirinya, oleh karena itu setiap ia mendapat nilai tinggi dia pasti selalu memamerkannya pada sang Papah.

Zidan mengendarai sepedanya menuju supermarket, dia tersenyum menikmati semilir angin yang menerpa wajahnya.

.
.
.

"Gue bener-bener gak ngerti lagi, otak gue bleng beneran deh. Urusan perusahaan, kacau balau. Riweh otak gue."

Ten menghela nafas. "Bangun deh, coba kita ngomongnya jangan disini, di galery gue aja."

Ten menuntun Dimas menuju lift yang ada di cafe nya, dia memanggil seorang barista. "Nanti tolong bawa makanannya ke galery."

Disinilah, lantai tiga atau galery yang disediakan oleh Ten di cafe nya. Ten sendiri yang membuat 378 lukisan yang ada di galery ini. Dimas dibawa ke sebuah ruang lukis, ia di dudukkan di depan sebuah kanvas besar. Ten berdiri di belakang Dimas sambil memegang pundaknya.

"Disini ada berbagai macam kuas, dan juga ada warna merah dan biru. Sekarang, lo ambil salah satu kuas. Lampiasin semua yang lo rasain, kalo lo marah lo bisa pake warna merah, sampe tenang. Kalo lo udah agak baikan, pake warna biru."

Dan benar saja, Dimas mengikuti cara Ten. Itu menandakan kalau hatinya sedang kacau saat ini.

Setelah dirasa Dimas cukup tenang, baru Ten bertanya.

"Oke, sekarang jelasin pelan-pelan ada apa sama Zidan?"

Dimas menghela nafas. Dia menceritakan segalanya pada Ten. Tentang Zidan dua hari yang lalu, tentang Zidan yang tiba-tiba ceria kembali entah mengapa, tentang semua keluh kesah Zidan, tentang semua fikiran aneh yang Zidan ungkapkan. Semuanya seratus persen tentang Zidan.

Mendengarnya Ten merasa sangat iba dengan Zidan.

"Ya Allah, kita gak bisa nyegah lagi Mas. Kalo dia bilang dia udah gak kuat, berarti dia emang pengen pergi, cuma belum waktunya. Kita harus nunggu takdir bertindak Mas."

===

"Loh? Abang?"

Zidan menoleh ketika ada yang memanggilnya, Viell sedang menatapnya bingung. Kenapa Viell disini? Dia baru aja mau ambil susu.

"Kamu kok disini dek?"

"Mau beli permen!" Ahh, harusnya Zidan langsung tahu tujuan dan maksud Viell ke supermarket itu apa. Pastinya permen. Dia mana mau disuruh belanja bulanan.

Infiblity || NCTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang